Social Icons

Jumat, 04 Juli 2014

Ayahku Seorang Kyai

Usiaku masih sekitar 14 tahun, ketika aku pertama kali melihat ayahku marah besar. Bukan, ia bukan marah kepada kami, keluarganya. Tapi, ia mendamprat habis seorang tamu yang sedang berkunjung. Sebagai orang Batak, tentu saja hal-hal semacam itu dianggap biasa di tengah masyarakat kami yang bertemperamen keras. Namun tetap saja, orang-orang di sekitar kediaman kami berlomba-lomba melihat kejadian langka tersebut. Entah kenapa, kemarahan ayahku membuat mereka rela menunda berbagai aktivitas yang sedang dilakukan. Bahkan, astaga, aku sangat yakin jika saat itu aku juga melihat seorang bapak tergopoh-gopoh menutupi tubuhnya dengan handuk demi menyaksikan adegan tersebut secara live.

Aku tidak tahu pasti alasan yang membuat mereka bergegas meninggalkan makanan yang sedang disantap, televisi yang sedang ditonton, bahkan sabun yang baru saja disiapkan untuk mandi. Sungguh, itu bukan hiperbola. Itu semua adalah kenyataan karena aku ada disana ketika fenomena ‘langka’ tersebut terjadi. Dan aku berusaha menebak mengapa massa berbondong-bondong berkumpul demi melihat kemarahan ayahku. Semua kemungkinan coba kuanalisa dengan otakku yang masih ‘hijau’ ini. Sampai aku teringat jika penyebab dari kumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari sosok ayahku yang lembut, jauh dari watak orang-orang pemarah. Hingga aku menyadari sebuah kenyataan lain, dan itu membuatku tertegun cukup lama ketika itu. Aku baru ingat kalau ayahku bukan orang biasa. Pantas saja begitu banyak manusia yang berusaha melihat kejadiaan ini. Ayahku seorang kyai!!!

Kejadian itu berlangsung saat semua masyarakat Indonesia seharusnya bersukacita menyambut hari kemerdekaan yang 2 minggu lagi akan datang. Hari yang seharusnya memiliki makna lebih bagi sosok ayahku. Karena ia turut memiliki andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Ya, ayahku dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan. Bahkan ia adalah seorang pemimpin pasukan khusus. Pasukannya terdiri atas santri pilihan dari pondok pesantren yang ayahku kelola ketika itu. Kenapa kusebut ‘santri pilihan’? Karena hanya santri yang benar-benar berkualitas sajalah yang diizinkan untuk bergabung ke dalam pasukan ini. Tidak hanya semangat juang dan ketahanan fisik saja yang menjadi syarat dari laskar ‘elit’ santri itu, tapi kualitas iman mereka selama berada di pondok pesantren dan kesiapan mereka dalam menyongsong bahaya maut juga menjadi tolak ukur utama dalam penyaringan pasukan yang dilakukan oleh ayahku sendiri pada saat itu.
 
Ia masih begitu muda dan gagah ketika memimpin orang-orang semacam itu untuk bergerilya melawan kelaliman penjajahan Jepang. Bersama mereka, ia berusaha mengusir kaum yang mengaku sebagai ‘saudara tua Indonesia’ itu dari bumi Sumatera Utara dengan senjata seadanya. Pada akhirnya, usaha itu bisa dikatakan berhasil berkat strategi yang matang dan kerjasama yang baik dengan satuan-satuan pejuang lainnya di berbagai wilayah Sumatera. Meskipun untuk itu, ayahku harus kehilangan seluruh santrinya. Bukan, mereka bukan dieksekusi oleh tentara Nippon. Tapi mereka terpaksa berlindung ke daerah lain karena pondok pesantren yang dikelola oleh ayahku dibumi hanguskan oleh pasukan Nippon ketika itu. Aku tidak tahu bagaimana perasaan ayahku ketika itu. Namun berdasar cerita yang kudapatkan dari paman-pamanku, aku tahu kalau ayahku merasa begitu sedih dengan hal tersebut. Ia merasa gagal melindungi santri-santri yang sudah dianggap anaknya sendiri padahal ketika itu ia memiliki anak buah cukup banyak.

Ketika membayangkan hal ini aku jadi teringat dengan salah seorang raja di Kerajaan Singosari yang masyhur itu. Ia mengirimkan ekspedisi pasukan ke wilayah Sumatera demi mewujudkan ambisinya untuk menyatukan Nusantara. Sayang, ia melupakan keamanan di pusat pemerintahannya di Jawa Timur sana sehingga dengan begitu mudah dapat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Hei, apa gunanya memperoleh banyak kemenangan di berbagai tempat, tapi ternyata engkau sendiri tak sangup melindungi kediamanmu?
Latar belakang ayahku yang merupakan pejuang kemerdekaan itulah yang membuat tamu tadi datang berkunjung ke rumah kami untuk kesekian kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Ya, tamu ayahku itu memang pernah beberapa kali bertamu ke tempat tinggal kami, meskipun untuk hal tersebut ia harus rela menempuh jarak yang lumayan jauh dari pusat kota Medan. Wajar saja, saat itu kami sekeluarga masih tinggal bersama di salah satu desa di pelosok Sumatera Utara. Ia selalu datang dengan tujuan yang sama. Yaitu menawarkan tunjangan tahunan yang disediakan oleh Kementerian Dalam Negeri bagi para veteran perang seperti ayahku. Dan jawaban ayahku dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya pun selalu sama pula, yaitu menolaknya dengan tegas.

Awalnya, kunjungan tamu tadi berjalan seperti biasa. Namun semuanya mulai berubah ketika tamu tadi mulai tak sabaran. Sepertinya ia kesal dengan sifat ayahku yang begitu keras kepala dalam hal ini. Bayangkan saja, berkali-kali ia datang kemari dengan menempuh perjalanan yang cukup melelahkan dan jawaban yang diperolehnya selalu saja sama, yaitu kata: TIDAK. Manusia mana yang tidak frustasi dengan hal semacam itu? Tentunya tamu tersebut bukan seseorang yang begitu sabar layaknya junjungan semesta alam ini kan?
Dan genap habis sudah amunisi argumen tamu tersebut. Ia tetap saja tak mampu mengubah pendirian ayahku itu, meski mulutnya sudah berbusa-busa menyampaikan tujuan dan manfaat dari program tunjangan ini. Hingga di tengah keputus asaannya ia mencoba mengeluarkan jurus pamungkasnya. Dan, astaga, inilah yang menjadi sebab kemarahan besar ayahku ketika itu.

Anda pasti tahu jika ayahku merupakan seorang kyai kan? Tapi tahukah Anda kenapa ia dipanggil begitu? Itu karena ia merupakan seorang direktur pondok pesantren yang ia rintis bersama sejumlah koleganya beberapa tahun yang lalu. Nah, tamu tersebut berusaha menyindir kondisi pesantren yang, kuakui, lumayan memprihatinkan dengan kondisi keluarga kami yang, lagi-lagi kuakui, hidup pas-pasan. Dari situ ia berusaha mempengaruhi ayahku jika tunjangan tersebut dapat digunakan untuk membantu biaya operasional pondok pesantren tiap tahunnya. Namun ia salah besar. Ayahku merasa begitu tersinggung dengan ucapan tamu itu tadi sehingga ia merasa perlu untuk mengusir tamu tersebut sesaat setelah meluapakan seluruh amarahnya. Entah seberapa hebat kemarahannya ketika itu, yang pasti setelah kejadian tersebut aku tidak pernah melihat tamu itu berkunjung kembali ke rumah ini. Sungguh, itu adalah kemarahan terhebat yang pernah kulihat dari sosok ayahku hingga ia wafat sewindu yang lalu.

Meskipun kejadian itu telah berlalu hingga 21 tahun, tetap saja aku masih belum bisa menyimpulkan dengan pasti alasan mengapa ayahku menolak program tunjangan itu. Karena tentu saja, aku tidak pernah berusaha mengungkit-ungkit kejadian tersebut. Tapi setidaknya biarkan aku menyampaikan analisaku sejenak, karena bagaimanapun juga Sang Khalik telah memberiku waktu yang amat lama untuk memikirkannya sekaligus mengambil pelajaran dari peristiwa itu.

Mengapa ayahku menolak program yang diprakasai oleh Kementerin Dalam Negeri itu? Pasti alasannya bukan karena keberatan dengan biaya registrasi program tersebut yang mencapai setengah juta lebih. Aku yakin itu. Mungkin alasan mengapa ayahku menolaknya ketika itu karena beliau merasa tidak pantas menerima tunjangan tersebut. Dari percakapan yang sering aku curi dengar ketika mereka mengobrol dalam beberapa pertemuan, aku paham jika ayahku berjuang melawan Jepang bukan untuk karena ia ingin dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Akan tetapi ia memimpin gerilya melawan Jepang karena ia tidak tahan melihat penderitaan rakyat kecil akibat penindasan dari tentara Jepang. Ia muak dengan berbagai kesewenang-wenangan mereka. Karena itulah ayahku memilih untuk mengangkat senjata melawan mereka. Dan yang menjadi harapan ayahku ketika itu hanyalah keridhoan dari Sang Khalik dan ganjaran dari sisi-Nya. Bahkan menurutku, hal ini pula yang menjadi harapan ayahku ketika jatuh bangun merintis pondok pesantren bersama koleganya dulu.

Dan satu hal yang membuatku tambah percaya dengan analisaku ini ialah headline yang kubaca di salah satu media cetak nasional pagi ini. Bahkan, berita heboh ini turut membantuku dalam membuat hipotesaku tadi. Tahukah Anda berita apa yang kumaksud? Tentu saja tentang korupsi. Tapi yang membuat berita ini begitu spesial di mataku ialah wajah seseorang yang diekspos dengan begitu jelas di halaman muka surat kabar tersebut. Disitu ia disebutkan sebagai pelaku utama dalam kasus korupsi yang terjadi di tubuh Kementerian Dalam Negeri. Hebatnya lagi kasus tersebut diduga melibatkan beberapa anggota DPR RI dan petinggi Kementerian Dalam Negeri. Tahukan Anda siapa yang aku maksud? Ya, ia adalah tamu ayahku 21 tahun yang lalu. Ia diduga merugikan negara sebesar 20,1 triliun melalui praktek korupsi di beberapa proyek Kementerian. Entahlah, aku tidak tahu pasti kasus yang menjeratnya. Yang kutahu, uang registrasi pengajuan tunjangan veteran itu pun termasuk hasil rekayasanya. Aku hanya dapat mengelus dada sambil bersyukur ayahku bukan termasuk orang-orang yang terjerat dengan tipu dayanya. Bayangkan, berapa keuntungan yang ia peroleh dari biaya registrasi sebesar setengah juta lebih selama puluhan tahun itu? Aku tidak tahu pasti, tapi tentu Allah Maha Tahu atas segalanya, kan?

Anda boleh percaya atau tidak dengan berita tersebut. Tapi kalau Anda ingin membuktikannya, kutantang diri Anda untuk datang kemari, ke sebuah pondok yang kini kujalankan bersama adik laki-lakiku. Tapi kuingatkan, jangan bersusah payah mencariku di Sumatera Utara. Karena tentu saja, kami sekeluarga telah pindah ke Jawa beberapa tahun setelah peristiwa pemberontakan PKI. Baiklah, kuberi Anda sedikit bantuan. Carilah aku di derah Jawa Tengah, dan bawa selalu baju hangat ketika Anda berkunjung kesini!


Cerpen Karangan: Chairul Sinaga
Facebook: Anwar Sinaga (FB)
Nama Pena: Chairul Sinaga
Pelajar di Pondok Tahfizhul Qur’an Isy Karima, Karanganyar
Jln. Solo-Tawangmangu km.34
TTL: 22 Nopember 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar harus berbahasa yg Sopan jaga etikannya