Rini Anak Gaul Jadi Anak Pesantren
Aku punya sahabat gaul juga di sekolah, kami selalu bersama. Meraka itu adalah Fita, Sinta dan Dinda. Hari ini aku datang ke sekolah dengan muka muram. Melihat tersebut sahabat ku penasaran dan kemudian mereka menghampiriku. “Eh, rin.. kenapa kamu? Kok kayaknya gak semangat banget hari ini..?” tanya Fita. “Iya nih… jadinya kan gak seru..!” sambung Dinda. “Ya… lagi gak mood aja!” jawab ku. Sinta berkata “Pasti kamu ada masalah ya kan rin..? jangan bohong deh… udah terlihat dari wajah-wajah kamu tau…!”. “Iya… memang aku ada masalah.. Handphone ku disita, trus aku cuma disuruh belajar dan belajar.. pokoknya nyuebelin banget..!” jawab ku. “Udah tenang saja nanti kita pergi shopping ok! Biar gak sedih lagi…” jelas Fita. “Kan aku di rumah sama orangtua ku gak boleh keluar..!” jawab ku. “Ih kalau gak ada kamu gak seru rin…!” Sahut sinta, “buuanget!, yuk masuk kelas…!” seru Dinda.
Pelajaran pun dimulai sekarang waktunya adalah fisika, pada saat itu juga guru fisika kami sifatnya lumayan garang. Kami satu kelas diadakan ulangan mendadak. Para murid semua protes karena belum sempat belajar. Tapi tetap saja ulangan dilaksanakan juga, soal mulai dibagikan oleh bu guru kami. Sahabat-sahabat ku bingung gak tau apa yang harus dijawab. “sst… sst.. Rini.. no. 1, 4, 7, 8, 9, 11, 15 apa?” tanya Fita. Aku menoleh dan menjawab “aku tak tahu..!”. “Uhh… soalnya sulit semua kita nyontek yuk..!” seru Dinda. “Ok!” kata Fita. Mereka pelan membuka buku tapi aku tidak, karena aku takut nanti ketauhan dan dihukum deh. Untung saja aku tadi malam belajar.
Tiba-tiba terdengar suara keras seperti petir keluar dari tangan pukulan bu guru di mejanya. Semuanya kaget dan diam seketika tanpa gerak sedikit pun. “Fita, Dinda, Sinta! maju ke depan!! sambil lembar jawabanyanya dibawa ke depan!!!” bu guru berteriak sambil meluapkan amarahnya. Tanpa kata mereka maju ke depan. Kemudian “Berikan lembar jawabannya!” kata buguru, mereka memberikan lembaran jawaban tersebut. Dengan wajah marah bu guru menyobek hingga berkeping keping kertas tersebut. “yah.. yah.. bu jangan dong bu..!, apa salah kami bu..?” tanya Sinta. “Iya bu apa salah kami bu..?” tanya dinda dan fita serempak. “Masih banyak tanya lagi! kalian tadi nyontek, apa pernah ibu nyuruh kalian nyontek pada saat ulangan!?” Tanya buguru. “Tidaaak….” mereka menjawab dengan pelan dan serempak. “Kalian saya hukum berdiri di depan kelas sampai ujian selesai!”, jelas bu guru.
Akhirnya mereka harus menerima hukuman tersebut. Semua mulai mengumpulkan lembar jawaban ke meja guru. “Sekarang kalian boleh kembali duduk!!!” suruh buguru pada sahabat-sahabat ku. “akhirnya… kita bebas!!!” mereka berkata serempak. Tiba-tiba ibu guru berkata “Anak–anak jawaban kalian sudah saya nilai dan nilai tertinggi dicapai oleh… Rini..!!!” aku kaget seakan tidak percaya. “hah!! Apa benar bu saya dapat nilai tertinggi?” tanya ku. “benar rini kalau tidak percaya lihat lah kemari” jelas bu guru. “Waaah… apa aku mimpi!” kataku dengan rasa senang dan rasa tidak percaya.
Tapi kesenangan ku berhenti begitu saja, ketika waktu istirahat tiba, sahabat-sahabat ku marah kepada ku. “Rin! Katanya kamu tadi, aku tanya tidak tahu kenapa kamu malah dapat nilai tertinggi”. Tanya Fita dengan meluapkan amarahnya. “Iya! Malah kami jadi dihukum, itu karena kamu”, sambung Dinda. “Tadi memang aku tidak tahu… cuma asal menjawab saja kok…!” jawab ku. “Alaaah… kamu pasti bohong sama kami!!” kata Sinta. “Beneran kok aku gak bohong…” jelas ku. “udah deh!! pokoknya kita End…!!” kata Fita cetus kepada ku. “Ingat itu..!!!”, sambung Dinda. Aku benar-benar menyesal dan hatiku sedih banget.
Sampai waktu pulang, aku berjalan ke gerbang dengan muka benar-benar sedih dan muram. Aku lihat mobil jemputanku sudah ada di depan gerbang. Langsung aku masuk ke mobil tersebut dengan keadaan diam tanpa kata sedikit pun. Sesampaiku di rumah, kemudian membuka pintu tiba-tiba aku melihat mama berbincang bincang dengan seorang anak seumuran ku yang duduk di sampingnya. Mama tiba-tiba berkata “Rini, kenalkan ini namanya Ani, ia akan menjadi teman mu, dari pada kamu temenan sama temen kamu yang belum mesti baiknya. Ia akan membantu mu dalam berbagai hal kesulitan”. “Iya mah..” jawab ku dengan perasaan terpaksa.
Kemudian aku menuju ke kamar aku. Ku membuka pintu dengan keras hingga semua orang yang ada di rumah terdengar dan kaget, aku lempar saja tas ku ke meja dengan kasar. Aku tak tahan mengeluarkan air mata dan akhirnya aku menangis tanpa henti dengan perasaan yang sunggu marah dan sedih. Aku menangis hingga beberapa waktu, tiba-tiba ku mendengar suara kaki berjalan mendekat kepada ku. aku melihat pelan–pelan dengan wajah ku yang sudah basah dengan air mata. Aku tetap saja menangis dan menghiraukanya. Ani tiba-tiba saja berkata dengan lembut sambil membelai diriku “Sudahlah jangan lah menagis terus… sayang kan bila nanti cantiknya hilang..!!”. Aku hanya terdiam saja. “Cerita donk sama aku, aku akan membantu kamu memecahkan masalah mu…” ia kembali berkata dengan lembut pada ku. “Memang diriku akhir ini aku sering mendapat masalah, gak Cuma satu aja masalahku, bahkan hingga beribu-ribu, aku gak kuat menerima semuanya.. aku mulai putus asa..!!” jelasku dengan agak merintih sedih. “Hey.. masalah itu jangan terlalu dipikirin buat saja masalah tersebut jadi happy, seru dan menyenangkan” jelasya. Aku penasaran dan bertanya kepadanya lagi “e… emangnya kamu pernah melakukan seperti itu, dan bagaimana caranya”. “Udah… itu nanti saja kita pikirin sekarang kamu Rini ganti baju lalu makan bersama..” kata Ani. “Terima kasih ya An..!” ucap ku sambil memeluk nya.
Sore hari nya aku belajar bersama dengan Ani, belajarnya seru banget gak bikin bete, Ani mengajariku serius tapi santai. Aku menjadi tau banyak hal dengan belajar, karena Ani pula aku jadi faham berbagai mata pelajaran. Seakan akan belajar jadi moment yang tak akan terlewatkan.
Malam pun telah tiba tepatnya jam tujuh malam, tiba-tiba terdengar suara orang baca Al-quran. Suara tersebut muncul dari kamar ani. Aku penasaran dan mendengar kanya di dekat pintu kamarnya. Suaranya sangat indah hingga aku terpesona. Dan tanpa aku sadari terdengar pintu terbuka dan Ani muncul di hadapanku. Aku langsung kaget melihat Ani dan jantung ku berdebar hebat. “Ada apa rin kok ada di sini..” tanya ani kepadaku. “E… e… aku tadi e.. denger suara kamu ngaji bagus banget, memanganya kamu bisa mengaji sejak kapan..?” jawab ku kepadanya dengan agak gagu. “Ya.. dari dulu sih..” jawab nya. “Kamu hebat yah… aku saja udah besar kayak gini masih belum lancar baca al quran nya…” ucap ku. “udah tenang saja aku mau kok bantu kamu kamu belajar baca al quran biar bisa lancar…”.
Setelah beberapa lama, akhirnya aku bisa membaca Al quran dengan lancar. Dulu saja aku benci dengan tulisan arab tapi sekarang jadi menyenangkan. “Terimakasih ya rin kamu tuh udah bantu aku buuanyak… banget!!” ucap ku kepada nya. “Ia sama sama kok… oh ya kamu harus ngutamakan ibadah-ibadah kamu yang seperti ini, jangan lupa solatnya juga, apalagi masa-masa Maulid Nabi kayak gini itu penting banget lo…” jelas nya secara rinci. “Ok dech…” sahut ku.. “Rini anak gaul gitu….” sambung nya… kami tertawa bahagia bersama.
Hari demi hari telah terlampaui aku mulai bisa melalui masalah ku, bahkan masalah ku, sebagian ku jadikan hal yang paling menyenang kan. Bahkan sahabat aku dulu terheran-heran dengan sikap ku sekarang yang mulai berubah. Tak terasa lagi Maulid Nabi sudah kurang tiga hari lagi. Di pagi harinya tiba-tiba mama ku memanggil ku dan Ani untuk ke ruang tamu yang di bawah. Kami datang di hadapanya, aku penasaran ada apa kok pagi-pagi waktu untuk siap-siap sekolah kok di panggil, “ada apa ma.. kok kami di panggil…?” tanya ku kepada mama. “Ini mama dapat undangan isinya ajakan untuk mengikuti lomba qiroah se-Kabupaten, jadi kalian berdua aku akan daftarin lomba ini, jadi kalian harus belajar qiroah dengan tekun” jelas mama. Aku kaget seraya berkata “tapi ma.. saya kan masih baru-baru ini bisa lancar bacanya, kenapa saya diikutkan..?, biar Ani saja yang ikut lomba tersebut..!”. “Jangan kawatir soal itu.. jika kamu berlatih dengan baik kalian pasti bisa”, jelas mama kepada ku. Aku hanya bisa menerima apa yang dikatakan oleh mama. Sebisa ku aku berlatih dengan semaksimal mungkin.
Ketika aku dan Ani sudah selesai berlatih baca al quran, ani mengajak ku mendengarkan musik. Dengan senang hati aku menerima pendapatnya. Tiba-tiba aku kayak mendengar aneh dari musik tersebut aku penasaran dan bertanya “Itu musik apa yang kau bunyikan.. kok aku belum pernah dengar..?” “Ini itu musik shalawatan, isinya salawat yang dilimpahkan kepada nabi kita.. penting juga lo solaawat untuk nabi mohammad SAW itu, karena kita bisa mendapat syafaat di yaumil kiyamah nanti…” jelasnya secara rinci. “Oh… begitu yah… jadinya asik donk kalau dibikin lagu..!” seru ku. “ok benar sekali…” kata Ani.
Maulid nabi tinggal keesokan harinya. Malam nya kami sekeluarga beserta Ani pergi ke sebuah pengajian peringatan Maulid Nabi Saw, sebenarnya aku gak begitu suka tapi ikuti saja orangtua ku.. mungkin ada benarnya juga. Ustadnya di pengajian itu kalo berbicara enak… banget didengar. Di situ aku diceramah tentang Tolong nenolong antar sesama, mataku hingga berkaca–kaca karena dulu aku sering bikin masalah sama temen, bukan nolongin malah nyusahin. Selain itu juga Ustadz tersebut menerangkan tentang doa. Aku jadi tahu pentingnya doa untuk kehidupan. Setelah pulang dari pengajian aku langsung ambil wudu dan berdoa agar aku bisa mengikuti lomba dengan lancar serta ujian nasional yang sukses.
Keesokan harinya telah tiba saatnya aku dan Ani mengikuti lomba Qiroah. Aku akan berangkat saja sudah deg-degan dan mulai agak tegang. Tapi lama kelamaan keteganganku hilang. Tak terasa kami sudah sampai di tempat lomba. Aku mencoba agar tetap tenang dalam mengikti lomba. Kami duduk di kursi peserta satu persatu namanya di panggil oleh juri. Sekarang adalah giliran Ani baca qiroah. Aku mulai deg-degan lagi, setelah Ani selesai, kemudian terdengar teriakan juri “Rini fitriyani!!” dengan hati berusaha untuk tenaang, aku mulai membacanya setelah beberapa waktu akhirnya qiroah ku selesai dengan persaan lega aku turun dari panggung. “Wah… rini kamu tadi bagus banget lo…” kata Ani. “ah.. enggak kok..!” jawab ku agak malu.
Setelah beberapa lama semua peserta sudah membaca. Akhirnya pembacaan juara pun akan segera diumum kan. Jantung ku mulai berdebar-debar. Waktunya pembacaan juara. “JUARA TIGA.. DIRAIH OLEH… MITA..!!” juara tiga sudah diumumkan. Aku semakin tegang. “JUARA DUA… DIRAIH OLEEEH… ANI…!!” juara dua sudah diumum kan, aku terkagum-kagum pada Ani. “DAN JUARA PERTAMA DIRAIH OLEEH… RINI…!!” aku hanya termenganga saja. Kemudian dengan perasaan senang aku naik ke panggung. Aku memperoleh trophy dan dorprize kecil, aku sangat tidak menyangka bisa juara dan bahkan bisa mengalahkan Ani.
Ketika perjalanan pulang aku berbincang-bincang dengan Ani di mobil. “Kamu hebat banget bisa juara satu Rini”, ucap Ani dengan dengan kagum. “Ah.. tidak juga ini berkat mu dan berkat maulid nabi…!!” jelas ku. “Sekarang Rini yang gaul iti udah jadi anak pesanten yah..” kata Ani. “Iya donk siapa dulu.. Rini..!!” jawabku semua tertawa bahagia.
Ini semua akan jadi momen yang tak kan pernah terlupakan, berkat Ani dan maulid Nabi aku jadi mengerti apa arti kehidupan dan sungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu. Aku telah merubah sikapku ini menjadi yang lebih baik dari dulu. Aku sangat berharap nanti ujian aku lulus dan mendapat nilai yang memuaskan. Ingat jangan pernah putus asa kawan…!.
Cerpen Karangan: Hafiza Elma Fitriya
Ayahku Seorang Kyai
Usiaku masih sekitar 14 tahun, ketika aku pertama kali
melihat ayahku marah besar. Bukan, ia bukan marah kepada kami,
keluarganya. Tapi, ia mendamprat habis seorang tamu yang sedang
berkunjung. Sebagai orang Batak, tentu saja hal-hal semacam itu dianggap
biasa di tengah masyarakat kami yang bertemperamen keras. Namun tetap
saja, orang-orang di sekitar kediaman kami berlomba-lomba melihat
kejadian langka tersebut. Entah kenapa, kemarahan ayahku membuat mereka
rela menunda berbagai aktivitas yang sedang dilakukan. Bahkan, astaga,
aku sangat yakin jika saat itu aku juga melihat seorang bapak
tergopoh-gopoh menutupi tubuhnya dengan handuk demi menyaksikan adegan
tersebut secara live.
Aku tidak tahu pasti alasan yang membuat mereka bergegas meninggalkan makanan yang sedang disantap, televisi yang sedang ditonton, bahkan sabun yang baru saja disiapkan untuk mandi. Sungguh, itu bukan hiperbola. Itu semua adalah kenyataan karena aku ada disana ketika fenomena ‘langka’ tersebut terjadi. Dan aku berusaha menebak mengapa massa berbondong-bondong berkumpul demi melihat kemarahan ayahku. Semua kemungkinan coba kuanalisa dengan otakku yang masih ‘hijau’ ini. Sampai aku teringat jika penyebab dari kumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari sosok ayahku yang lembut, jauh dari watak orang-orang pemarah. Hingga aku menyadari sebuah kenyataan lain, dan itu membuatku tertegun cukup lama ketika itu. Aku baru ingat kalau ayahku bukan orang biasa. Pantas saja begitu banyak manusia yang berusaha melihat kejadiaan ini. Ayahku seorang kyai!!!
Kejadian itu berlangsung saat semua masyarakat Indonesia seharusnya bersukacita menyambut hari kemerdekaan yang 2 minggu lagi akan datang. Hari yang seharusnya memiliki makna lebih bagi sosok ayahku. Karena ia turut memiliki andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Ya, ayahku dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan. Bahkan ia adalah seorang pemimpin pasukan khusus. Pasukannya terdiri atas santri pilihan dari pondok pesantren yang ayahku kelola ketika itu. Kenapa kusebut ‘santri pilihan’? Karena hanya santri yang benar-benar berkualitas sajalah yang diizinkan untuk bergabung ke dalam pasukan ini. Tidak hanya semangat juang dan ketahanan fisik saja yang menjadi syarat dari laskar ‘elit’ santri itu, tapi kualitas iman mereka selama berada di pondok pesantren dan kesiapan mereka dalam menyongsong bahaya maut juga menjadi tolak ukur utama dalam penyaringan pasukan yang dilakukan oleh ayahku sendiri pada saat itu.
Ia masih begitu muda dan gagah ketika memimpin orang-orang semacam itu untuk bergerilya melawan kelaliman penjajahan Jepang. Bersama mereka, ia berusaha mengusir kaum yang mengaku sebagai ‘saudara tua Indonesia’ itu dari bumi Sumatera Utara dengan senjata seadanya. Pada akhirnya, usaha itu bisa dikatakan berhasil berkat strategi yang matang dan kerjasama yang baik dengan satuan-satuan pejuang lainnya di berbagai wilayah Sumatera. Meskipun untuk itu, ayahku harus kehilangan seluruh santrinya. Bukan, mereka bukan dieksekusi oleh tentara Nippon. Tapi mereka terpaksa berlindung ke daerah lain karena pondok pesantren yang dikelola oleh ayahku dibumi hanguskan oleh pasukan Nippon ketika itu. Aku tidak tahu bagaimana perasaan ayahku ketika itu. Namun berdasar cerita yang kudapatkan dari paman-pamanku, aku tahu kalau ayahku merasa begitu sedih dengan hal tersebut. Ia merasa gagal melindungi santri-santri yang sudah dianggap anaknya sendiri padahal ketika itu ia memiliki anak buah cukup banyak.
Ketika membayangkan hal ini aku jadi teringat dengan salah seorang raja di Kerajaan Singosari yang masyhur itu. Ia mengirimkan ekspedisi pasukan ke wilayah Sumatera demi mewujudkan ambisinya untuk menyatukan Nusantara. Sayang, ia melupakan keamanan di pusat pemerintahannya di Jawa Timur sana sehingga dengan begitu mudah dapat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Hei, apa gunanya memperoleh banyak kemenangan di berbagai tempat, tapi ternyata engkau sendiri tak sangup melindungi kediamanmu?
Latar belakang ayahku yang merupakan pejuang kemerdekaan itulah yang membuat tamu tadi datang berkunjung ke rumah kami untuk kesekian kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Ya, tamu ayahku itu memang pernah beberapa kali bertamu ke tempat tinggal kami, meskipun untuk hal tersebut ia harus rela menempuh jarak yang lumayan jauh dari pusat kota Medan. Wajar saja, saat itu kami sekeluarga masih tinggal bersama di salah satu desa di pelosok Sumatera Utara. Ia selalu datang dengan tujuan yang sama. Yaitu menawarkan tunjangan tahunan yang disediakan oleh Kementerian Dalam Negeri bagi para veteran perang seperti ayahku. Dan jawaban ayahku dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya pun selalu sama pula, yaitu menolaknya dengan tegas.
Awalnya, kunjungan tamu tadi berjalan seperti biasa. Namun semuanya mulai berubah ketika tamu tadi mulai tak sabaran. Sepertinya ia kesal dengan sifat ayahku yang begitu keras kepala dalam hal ini. Bayangkan saja, berkali-kali ia datang kemari dengan menempuh perjalanan yang cukup melelahkan dan jawaban yang diperolehnya selalu saja sama, yaitu kata: TIDAK. Manusia mana yang tidak frustasi dengan hal semacam itu? Tentunya tamu tersebut bukan seseorang yang begitu sabar layaknya junjungan semesta alam ini kan?
Dan genap habis sudah amunisi argumen tamu tersebut. Ia tetap saja tak mampu mengubah pendirian ayahku itu, meski mulutnya sudah berbusa-busa menyampaikan tujuan dan manfaat dari program tunjangan ini. Hingga di tengah keputus asaannya ia mencoba mengeluarkan jurus pamungkasnya. Dan, astaga, inilah yang menjadi sebab kemarahan besar ayahku ketika itu.
Anda pasti tahu jika ayahku merupakan seorang kyai kan? Tapi tahukah Anda kenapa ia dipanggil begitu? Itu karena ia merupakan seorang direktur pondok pesantren yang ia rintis bersama sejumlah koleganya beberapa tahun yang lalu. Nah, tamu tersebut berusaha menyindir kondisi pesantren yang, kuakui, lumayan memprihatinkan dengan kondisi keluarga kami yang, lagi-lagi kuakui, hidup pas-pasan. Dari situ ia berusaha mempengaruhi ayahku jika tunjangan tersebut dapat digunakan untuk membantu biaya operasional pondok pesantren tiap tahunnya. Namun ia salah besar. Ayahku merasa begitu tersinggung dengan ucapan tamu itu tadi sehingga ia merasa perlu untuk mengusir tamu tersebut sesaat setelah meluapakan seluruh amarahnya. Entah seberapa hebat kemarahannya ketika itu, yang pasti setelah kejadian tersebut aku tidak pernah melihat tamu itu berkunjung kembali ke rumah ini. Sungguh, itu adalah kemarahan terhebat yang pernah kulihat dari sosok ayahku hingga ia wafat sewindu yang lalu.
Meskipun kejadian itu telah berlalu hingga 21 tahun, tetap saja aku masih belum bisa menyimpulkan dengan pasti alasan mengapa ayahku menolak program tunjangan itu. Karena tentu saja, aku tidak pernah berusaha mengungkit-ungkit kejadian tersebut. Tapi setidaknya biarkan aku menyampaikan analisaku sejenak, karena bagaimanapun juga Sang Khalik telah memberiku waktu yang amat lama untuk memikirkannya sekaligus mengambil pelajaran dari peristiwa itu.
Mengapa ayahku menolak program yang diprakasai oleh Kementerin Dalam Negeri itu? Pasti alasannya bukan karena keberatan dengan biaya registrasi program tersebut yang mencapai setengah juta lebih. Aku yakin itu. Mungkin alasan mengapa ayahku menolaknya ketika itu karena beliau merasa tidak pantas menerima tunjangan tersebut. Dari percakapan yang sering aku curi dengar ketika mereka mengobrol dalam beberapa pertemuan, aku paham jika ayahku berjuang melawan Jepang bukan untuk karena ia ingin dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Akan tetapi ia memimpin gerilya melawan Jepang karena ia tidak tahan melihat penderitaan rakyat kecil akibat penindasan dari tentara Jepang. Ia muak dengan berbagai kesewenang-wenangan mereka. Karena itulah ayahku memilih untuk mengangkat senjata melawan mereka. Dan yang menjadi harapan ayahku ketika itu hanyalah keridhoan dari Sang Khalik dan ganjaran dari sisi-Nya. Bahkan menurutku, hal ini pula yang menjadi harapan ayahku ketika jatuh bangun merintis pondok pesantren bersama koleganya dulu.
Dan satu hal yang membuatku tambah percaya dengan analisaku ini ialah headline yang kubaca di salah satu media cetak nasional pagi ini. Bahkan, berita heboh ini turut membantuku dalam membuat hipotesaku tadi. Tahukah Anda berita apa yang kumaksud? Tentu saja tentang korupsi. Tapi yang membuat berita ini begitu spesial di mataku ialah wajah seseorang yang diekspos dengan begitu jelas di halaman muka surat kabar tersebut. Disitu ia disebutkan sebagai pelaku utama dalam kasus korupsi yang terjadi di tubuh Kementerian Dalam Negeri. Hebatnya lagi kasus tersebut diduga melibatkan beberapa anggota DPR RI dan petinggi Kementerian Dalam Negeri. Tahukan Anda siapa yang aku maksud? Ya, ia adalah tamu ayahku 21 tahun yang lalu. Ia diduga merugikan negara sebesar 20,1 triliun melalui praktek korupsi di beberapa proyek Kementerian. Entahlah, aku tidak tahu pasti kasus yang menjeratnya. Yang kutahu, uang registrasi pengajuan tunjangan veteran itu pun termasuk hasil rekayasanya. Aku hanya dapat mengelus dada sambil bersyukur ayahku bukan termasuk orang-orang yang terjerat dengan tipu dayanya. Bayangkan, berapa keuntungan yang ia peroleh dari biaya registrasi sebesar setengah juta lebih selama puluhan tahun itu? Aku tidak tahu pasti, tapi tentu Allah Maha Tahu atas segalanya, kan?
Anda boleh percaya atau tidak dengan berita tersebut. Tapi kalau Anda ingin membuktikannya, kutantang diri Anda untuk datang kemari, ke sebuah pondok yang kini kujalankan bersama adik laki-lakiku. Tapi kuingatkan, jangan bersusah payah mencariku di Sumatera Utara. Karena tentu saja, kami sekeluarga telah pindah ke Jawa beberapa tahun setelah peristiwa pemberontakan PKI. Baiklah, kuberi Anda sedikit bantuan. Carilah aku di derah Jawa Tengah, dan bawa selalu baju hangat ketika Anda berkunjung kesini!
Cerpen Karangan: Chairul Sinaga
Facebook: Anwar Sinaga (FB)
Nama Pena: Chairul Sinaga
Pelajar di Pondok Tahfizhul Qur’an Isy Karima, Karanganyar
Jln. Solo-Tawangmangu km.34
TTL: 22 Nopember 1996
Aku tidak tahu pasti alasan yang membuat mereka bergegas meninggalkan makanan yang sedang disantap, televisi yang sedang ditonton, bahkan sabun yang baru saja disiapkan untuk mandi. Sungguh, itu bukan hiperbola. Itu semua adalah kenyataan karena aku ada disana ketika fenomena ‘langka’ tersebut terjadi. Dan aku berusaha menebak mengapa massa berbondong-bondong berkumpul demi melihat kemarahan ayahku. Semua kemungkinan coba kuanalisa dengan otakku yang masih ‘hijau’ ini. Sampai aku teringat jika penyebab dari kumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari sosok ayahku yang lembut, jauh dari watak orang-orang pemarah. Hingga aku menyadari sebuah kenyataan lain, dan itu membuatku tertegun cukup lama ketika itu. Aku baru ingat kalau ayahku bukan orang biasa. Pantas saja begitu banyak manusia yang berusaha melihat kejadiaan ini. Ayahku seorang kyai!!!
Kejadian itu berlangsung saat semua masyarakat Indonesia seharusnya bersukacita menyambut hari kemerdekaan yang 2 minggu lagi akan datang. Hari yang seharusnya memiliki makna lebih bagi sosok ayahku. Karena ia turut memiliki andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Ya, ayahku dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan. Bahkan ia adalah seorang pemimpin pasukan khusus. Pasukannya terdiri atas santri pilihan dari pondok pesantren yang ayahku kelola ketika itu. Kenapa kusebut ‘santri pilihan’? Karena hanya santri yang benar-benar berkualitas sajalah yang diizinkan untuk bergabung ke dalam pasukan ini. Tidak hanya semangat juang dan ketahanan fisik saja yang menjadi syarat dari laskar ‘elit’ santri itu, tapi kualitas iman mereka selama berada di pondok pesantren dan kesiapan mereka dalam menyongsong bahaya maut juga menjadi tolak ukur utama dalam penyaringan pasukan yang dilakukan oleh ayahku sendiri pada saat itu.
Ia masih begitu muda dan gagah ketika memimpin orang-orang semacam itu untuk bergerilya melawan kelaliman penjajahan Jepang. Bersama mereka, ia berusaha mengusir kaum yang mengaku sebagai ‘saudara tua Indonesia’ itu dari bumi Sumatera Utara dengan senjata seadanya. Pada akhirnya, usaha itu bisa dikatakan berhasil berkat strategi yang matang dan kerjasama yang baik dengan satuan-satuan pejuang lainnya di berbagai wilayah Sumatera. Meskipun untuk itu, ayahku harus kehilangan seluruh santrinya. Bukan, mereka bukan dieksekusi oleh tentara Nippon. Tapi mereka terpaksa berlindung ke daerah lain karena pondok pesantren yang dikelola oleh ayahku dibumi hanguskan oleh pasukan Nippon ketika itu. Aku tidak tahu bagaimana perasaan ayahku ketika itu. Namun berdasar cerita yang kudapatkan dari paman-pamanku, aku tahu kalau ayahku merasa begitu sedih dengan hal tersebut. Ia merasa gagal melindungi santri-santri yang sudah dianggap anaknya sendiri padahal ketika itu ia memiliki anak buah cukup banyak.
Ketika membayangkan hal ini aku jadi teringat dengan salah seorang raja di Kerajaan Singosari yang masyhur itu. Ia mengirimkan ekspedisi pasukan ke wilayah Sumatera demi mewujudkan ambisinya untuk menyatukan Nusantara. Sayang, ia melupakan keamanan di pusat pemerintahannya di Jawa Timur sana sehingga dengan begitu mudah dapat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Hei, apa gunanya memperoleh banyak kemenangan di berbagai tempat, tapi ternyata engkau sendiri tak sangup melindungi kediamanmu?
Latar belakang ayahku yang merupakan pejuang kemerdekaan itulah yang membuat tamu tadi datang berkunjung ke rumah kami untuk kesekian kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Ya, tamu ayahku itu memang pernah beberapa kali bertamu ke tempat tinggal kami, meskipun untuk hal tersebut ia harus rela menempuh jarak yang lumayan jauh dari pusat kota Medan. Wajar saja, saat itu kami sekeluarga masih tinggal bersama di salah satu desa di pelosok Sumatera Utara. Ia selalu datang dengan tujuan yang sama. Yaitu menawarkan tunjangan tahunan yang disediakan oleh Kementerian Dalam Negeri bagi para veteran perang seperti ayahku. Dan jawaban ayahku dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya pun selalu sama pula, yaitu menolaknya dengan tegas.
Awalnya, kunjungan tamu tadi berjalan seperti biasa. Namun semuanya mulai berubah ketika tamu tadi mulai tak sabaran. Sepertinya ia kesal dengan sifat ayahku yang begitu keras kepala dalam hal ini. Bayangkan saja, berkali-kali ia datang kemari dengan menempuh perjalanan yang cukup melelahkan dan jawaban yang diperolehnya selalu saja sama, yaitu kata: TIDAK. Manusia mana yang tidak frustasi dengan hal semacam itu? Tentunya tamu tersebut bukan seseorang yang begitu sabar layaknya junjungan semesta alam ini kan?
Dan genap habis sudah amunisi argumen tamu tersebut. Ia tetap saja tak mampu mengubah pendirian ayahku itu, meski mulutnya sudah berbusa-busa menyampaikan tujuan dan manfaat dari program tunjangan ini. Hingga di tengah keputus asaannya ia mencoba mengeluarkan jurus pamungkasnya. Dan, astaga, inilah yang menjadi sebab kemarahan besar ayahku ketika itu.
Anda pasti tahu jika ayahku merupakan seorang kyai kan? Tapi tahukah Anda kenapa ia dipanggil begitu? Itu karena ia merupakan seorang direktur pondok pesantren yang ia rintis bersama sejumlah koleganya beberapa tahun yang lalu. Nah, tamu tersebut berusaha menyindir kondisi pesantren yang, kuakui, lumayan memprihatinkan dengan kondisi keluarga kami yang, lagi-lagi kuakui, hidup pas-pasan. Dari situ ia berusaha mempengaruhi ayahku jika tunjangan tersebut dapat digunakan untuk membantu biaya operasional pondok pesantren tiap tahunnya. Namun ia salah besar. Ayahku merasa begitu tersinggung dengan ucapan tamu itu tadi sehingga ia merasa perlu untuk mengusir tamu tersebut sesaat setelah meluapakan seluruh amarahnya. Entah seberapa hebat kemarahannya ketika itu, yang pasti setelah kejadian tersebut aku tidak pernah melihat tamu itu berkunjung kembali ke rumah ini. Sungguh, itu adalah kemarahan terhebat yang pernah kulihat dari sosok ayahku hingga ia wafat sewindu yang lalu.
Meskipun kejadian itu telah berlalu hingga 21 tahun, tetap saja aku masih belum bisa menyimpulkan dengan pasti alasan mengapa ayahku menolak program tunjangan itu. Karena tentu saja, aku tidak pernah berusaha mengungkit-ungkit kejadian tersebut. Tapi setidaknya biarkan aku menyampaikan analisaku sejenak, karena bagaimanapun juga Sang Khalik telah memberiku waktu yang amat lama untuk memikirkannya sekaligus mengambil pelajaran dari peristiwa itu.
Mengapa ayahku menolak program yang diprakasai oleh Kementerin Dalam Negeri itu? Pasti alasannya bukan karena keberatan dengan biaya registrasi program tersebut yang mencapai setengah juta lebih. Aku yakin itu. Mungkin alasan mengapa ayahku menolaknya ketika itu karena beliau merasa tidak pantas menerima tunjangan tersebut. Dari percakapan yang sering aku curi dengar ketika mereka mengobrol dalam beberapa pertemuan, aku paham jika ayahku berjuang melawan Jepang bukan untuk karena ia ingin dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Akan tetapi ia memimpin gerilya melawan Jepang karena ia tidak tahan melihat penderitaan rakyat kecil akibat penindasan dari tentara Jepang. Ia muak dengan berbagai kesewenang-wenangan mereka. Karena itulah ayahku memilih untuk mengangkat senjata melawan mereka. Dan yang menjadi harapan ayahku ketika itu hanyalah keridhoan dari Sang Khalik dan ganjaran dari sisi-Nya. Bahkan menurutku, hal ini pula yang menjadi harapan ayahku ketika jatuh bangun merintis pondok pesantren bersama koleganya dulu.
Dan satu hal yang membuatku tambah percaya dengan analisaku ini ialah headline yang kubaca di salah satu media cetak nasional pagi ini. Bahkan, berita heboh ini turut membantuku dalam membuat hipotesaku tadi. Tahukah Anda berita apa yang kumaksud? Tentu saja tentang korupsi. Tapi yang membuat berita ini begitu spesial di mataku ialah wajah seseorang yang diekspos dengan begitu jelas di halaman muka surat kabar tersebut. Disitu ia disebutkan sebagai pelaku utama dalam kasus korupsi yang terjadi di tubuh Kementerian Dalam Negeri. Hebatnya lagi kasus tersebut diduga melibatkan beberapa anggota DPR RI dan petinggi Kementerian Dalam Negeri. Tahukan Anda siapa yang aku maksud? Ya, ia adalah tamu ayahku 21 tahun yang lalu. Ia diduga merugikan negara sebesar 20,1 triliun melalui praktek korupsi di beberapa proyek Kementerian. Entahlah, aku tidak tahu pasti kasus yang menjeratnya. Yang kutahu, uang registrasi pengajuan tunjangan veteran itu pun termasuk hasil rekayasanya. Aku hanya dapat mengelus dada sambil bersyukur ayahku bukan termasuk orang-orang yang terjerat dengan tipu dayanya. Bayangkan, berapa keuntungan yang ia peroleh dari biaya registrasi sebesar setengah juta lebih selama puluhan tahun itu? Aku tidak tahu pasti, tapi tentu Allah Maha Tahu atas segalanya, kan?
Anda boleh percaya atau tidak dengan berita tersebut. Tapi kalau Anda ingin membuktikannya, kutantang diri Anda untuk datang kemari, ke sebuah pondok yang kini kujalankan bersama adik laki-lakiku. Tapi kuingatkan, jangan bersusah payah mencariku di Sumatera Utara. Karena tentu saja, kami sekeluarga telah pindah ke Jawa beberapa tahun setelah peristiwa pemberontakan PKI. Baiklah, kuberi Anda sedikit bantuan. Carilah aku di derah Jawa Tengah, dan bawa selalu baju hangat ketika Anda berkunjung kesini!
Cerpen Karangan: Chairul Sinaga
Facebook: Anwar Sinaga (FB)
Nama Pena: Chairul Sinaga
Pelajar di Pondok Tahfizhul Qur’an Isy Karima, Karanganyar
Jln. Solo-Tawangmangu km.34
TTL: 22 Nopember 1996
Dialog Dalam Lemari
Wanita muda dengan posisi tegap, berdiri tepat di depan
cermin besar dalam kamarnya. Ia memandang lekat-lekat sosok yang mirip
dirinya dalam cermin. Sesekali ia tersenyum. Bibirnya dioleskan dengan
barang berwarna merah muda itu. Kemudian ia kembali memandangi wajahnya
dan tersenyum. Dia menghadap ke samping, kemudian ke belakang, matanya
tetap lekat di dalam cermin. Ia berputar-putar. Setelah termangu
sejenak, disemprotkan parfum ke bajunya. Kemudian ia membuka pintu lalu
pergi.
Dalam kamarnya, menyengat bau wangi dari aroma parfum yang ditinggalkannya. Tempat tidurnya masih berserakan, selimut dan guling pontang-panting. Di sudut kanan cermin besarnya, berdiri gagah lemari pakaian yang menjulang hampir menyentuh langit-langit kamarnya. Berwarna kuning muda, mengkilat.
“Kenapa dia tidak mengambilku saat membuka pintu itu?” ungkap Jilbab dengan wajah kesal. Ia sudah lama tidak keluar dari dalam lemari pengap itu.
“Sejak lulus Madrasyah, aku sudah jarang menemaninya, apakah ia sudah lupa akan jasaku padanya? Akulah yang menemaninya pergi mengaji ke rumah Cik Taupik hingga ia Khatam Al-qur’an, aku juga yang selalu menemaninya selama tiga tahun di madrasyah, apakah aku sudah tidak penting lagi baginya?” keluh Jilbab sambil menundukkan mukanya. Menyimpan kesedihannya.
“Ahh, sudahlah, Ji. Tidak usah terlalu disedihkan. Aku juga miris melihatnya begitu. Dibanding denganmu, aku lebih sedih lagi. Aku hanya keluar dari ruang gelap ini satu bulan sekali. Itu pun Ibunya yang mengeluarkanku” ungkap Kurung Melayu mencoba menenangkan hati Jilbab.
“Apa ia sudah lupa akan pelajaran yang didapatnya saat Madrasyah dulu bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya” Jilbab meneruskan kata-katanya.
“Aku rasa, ia tidak melupakannya, Ji. Manusia memang begitu, ia tahu bahwa hal itu wajib, tetapi tetap saja ditinggalkannya” jelas Kurung, memelankan suaranya sambil melilik bilik sebelah kanannya.
“Aku sangat sedih melihat prilakunya akhir-akhir ini, ibunya juga sudah tak kuasa memperingatinya. Aku rindu saat-saat aku selalu menemaninya. Mengikuti kemanapun ia pergi. Sekarang aku benar-benar kehilangan sahabat seperti dirinya. Aku sudah jarang diajaknya keluar dari ruang pengap ini. Walaupun aku keluar dari sini, aku sudah tidak dipasangkan bersamamu lagi, Kur” ratap Jilbab, wajahnya masih tertunduk, pipinya merah menahan bulir air mata yang hendak mencuat keluar.
“Ha, ha, ha. Apa yang sedang kalian keluhkan, kawan?” sambung celana jeans panjang mengejutkan Kurung yang sedang serius memperhatikan jilbab.
“Engkau tidak senasib dengan kami, engkau sering keluar dari lemari ini menemani paha mulusnya. Menjajaki setiap langkah kakinya saat ia pergi ke luar rumah. Sedangkan kami, sudah lama sekali tidak diajaknya keluar dari sini. Rasanya, aku sudah sangat bosan di ruangan gelap gulita ini. Aku ingin menemaninya seperti dahulu. Aku sungguh menyayanginya” jelas Kurung.
“Sekarang zaman modern, kawan. Aku adalah produk dari moderenisme tersebut. Sedangkan kalian, sudah ketinggalan zaman. Mana mungkin kalian diajaknya lagi keluar dari tempat ini. Sudahlah, terima takdir saja. Sahabat kalian itu telah mati, sekarang ia adalah sahabatku. Aku juga pakaian yang nyaman dipakai olehnya” kata Jeans dengan nada sombong, dadanya diangkat tinggi-tinggi, jarinya diacungkan ke depan meremehkan Jilbab dan Kurung.
“Ohh, tidak. Memakaimu memang sangat nyaman, namun engkau tidak pernah benar-benar menutup tubuhnya. Ia masih tel*njang saat engkau menemaninya. Untuk apa memakai pakaian tapi masih tel*njang. Sungguh, hal itu berdosa” Jilbab mengangkat dagunya, tatapan tajam tertuju kepada Jeans.
“Dosa, katamu? Manusia kini tidak lagi menghitung dosa, kawan. Banyak di antara mereka yang mengerti betul bahwa mencuri itu berdosa, tapi mereka tetap melakukannya bukan? Apalagi dosa berpakaian seperti yang engkau sebutkan itu, mana mungkin mereka mengurusnya.” Jelas Jeans.
“Perkataanmu ada benarnya, jeans. Tapi aku benar-benar tidak ingin ia melupakan aku. Aku adalah titipan Tuhan. Memakaiku akan mendapat pahala. Aku juga sebagai pereda birahi pria-pria hidung belang di luar sana yang siap menerkamnya.” Sambung jilbab.
“Tidak… tidak, toh masih banyak wanita di luar sana yang menggunakanmu di kepala mereka, tapi tetap saja mereka lebih liar daripada wanita yang tidak menggunakanmu.” Jeans membalas perkataan Jilbab.
“Tunggu, Ji. Kita juga sering dipasangkan berdua, bukan?. Bersama dia juga.” Sambung Jeans sambil menoleh ke arah Kaos lengan panjang yang dari tadi diam, mendengar dialog mereka. Ia tersenyum manis. Tanpa kata. Lidahnya masih kelu untuk mengikuti alur pembicaraan mereka sambil mengusap-usap sela matanya. Ia baru saja bangun dari lelapnya. Matanya masih terasa lekat.
“Iya, benar. Tapi sebenarnya aku tidak cocok dan tidak sudi berpasangan dengan kalian berdua. Pasanganku adalah kurung melayu sedari dulu. Kalian berdua itu memang sama-sama menutupi tubuhnya. Tapi tetap saja lekuk-lekuk tubuh sintalnya terpampang jelas, dada bes*rnya masih saja melahirkan birahi bagi yang memandangnya, begitu juga dengan pinggulnya. Kalian tidak benar-benar melindungi dirinya” ungkap Jilbab. Nada suaranya sedikit naik.
“Memang akulah yang sesuai untuk pasangan jilbab. Aku ini tidak memamerkan lekuk dan garis-garis dari tubuhnya” tukas Kurung.
“Tapi saat ini, kamilah sahabatnya. Bukanlah kami yang membujuknya menggunakan kami, tapi itu kemauannya sendiri. Kami ini mengikuti trend. Tidak ketinggalan zaman seperti kalian” Jeans langsung menimpali jawaban Kurung sambil menoleh ke arah Rope (Rok pendek) yang berada di dekatnya.
“Iya, kita ini trend. Tanpa kita dia tidak akan kelihatan menarik. Kalian tahu? Tujuan wanita adalah untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Pilihannya adalah kami berdua. Ketika kami menemaninya, mata-mata di luar sana tidak berkedip memandang ke arahnya. Senyum manis mereka selalu tersungging untuk kami. Entah apa maksud senyuman itu, kami tidak tahu. Ia selalu membalas senyuman-senyuman itu. Kami berdua juga tersenyum” jelas Rope.
“Sudah, sudah. Aku sungguh tidak menyukai keberadaan kalian. Produk-produk moderenisme yang merusak budaya lokal. Seandainya aku bisa melompat keluar. Telah aku lakukan sedari dulu. Kalian itu hanya akan membawanya kepada kemaksiatan. Apa kalian menyadarinya?” jawab jilbab. Matanya melotot. Air matanya sudah mengering. Darahnya terasa naik ke ubun-ubun. Jeans dan Rope terdiam, mematung tanpa kata. Mereka saling memandang, tapi tetap diam, terus mendengar curahan hati Jilbab.
“Saat kalian menemaninya, menjulur-julur nafsu syaitan dari mata yang memandanginya. Impian mereka ialah menyusuri tubuh mulusnya itu di tiap jengkalnya. Kalian tahu, kalau barang mahal itu jangan dipamerkan, sebab ia akan menjadi murah.” Sambung jilbab.
“Maksudmu?” serentak Jeans dan Rope menjawab.
“Lihat saja penjual ikan asin, selalu memajang dagangannya di beranda. Barang murah itu dijamahi siapa saja yang melihatnya. Lalat-lalat, atau nyamuk iseng yang menghampirinya. Sedangkan penjual emas, ia selalu menyimpannya di tempat yang aman, di dalam lemari kaca dan di dalam kotak. Itu menandakan barang yang mahal. Tidak sembarang yang boleh menjamahinya. Kecuali pembeli yang berkualitas. Bukan lalat-lalat atau nyamuk-nyamuk iseng” jelas Jilbab.
“Aku mengerti perasaanmu, Ji. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya produk. Saat ia memilihku sebagai temannya, aku tidak bisa menolaknya.” Ungkap Rope sambil menundukkan wajahnya. Ia prihatin dengan perasaan jilbab yang sedang kehilangan sahabatnya. Jeans masih terdiam, ia juga sudah tidak ingin berdebat dengan jilbab.
“Sudahlah. Do’kan saja agar ia cepat sadar dan kembali kepada prilaku masa lalunya” sambung Mukena yang dari tadi diam mendengarkan obrolan mereka. Semuanya mendongak ke atas, ke arah Mukena. Tingkat paling atas dalam lemari gelap itu.
“Aku hanya dikeluarkannya dua kali saja dalam satu tahun. Sungguh ironis bukan? Apa ia lupa dahulu ia selalu membuka pintu lemari dan menarik tanganku keluar lima kali dalam sehari. Aku juga sering disimpannya dalam tas sekolahnya. Menemaninya hingga pulang sekolah. Sungguh aku rindu masa-masa itu. Tapi kenapa kini ia begitu mudah melupakan aku.” Sambung Mukena, memaku semua kata-kata mereka yang dari tadi riuh gaduh. Mereka hanya diam termangu-mangu. Memandang pintu lemari yang tak kunjung terbuka. Gelap, pengap sungguh mengganggu pernapasan mereka.
“Dia gadis remaja yang lemah, mudah goyah oleh topan zaman yang terus menerjang. Ia mudah terpengaruh oleh hal-hal baru sehingga lupa akan kewajibannya sebagai mahluk yang beragama.” Jilbab memulai kembali kata-katanya.
“Kita disini hanya bisa berdo’a, semoga ia cepat sadar bahwa yang ia lakukannya adalah salah. Mohon maaf saja, kawan. Jika nanti ia sadar, tentunya kalian produk moderenisme tidak dipakainya lagi, atau bahkan kalian bisa dikeluarkan dari ruangan gelap ini. Bukan untuk menemaninya. Tapi untuk menghilang dari kehidupannya” jelas Jilbab.
“Ohh… kami tidak apa-apa, toh kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, kami hanya produk, dirinya sendirilah yang bisa mengubah dirinya. Kami rela jika harus berpisah dari kalian.” Jawab Rope, ia tertunduk. Sedikit sedih tergambar di wajahnya.
Suasana hening melanda dalam ruang gelap itu, semuanya terdiam setelah obrolan panjang, tiada kata yang terucap lagi, semuanya membatin dalam sanubari masing-masing. Kemudian terdengar suara tangisan yang terisak-isak dari arah tingkat bawah, mereka semuanya menunduk ke bawah, melihat siapa yang sedang menangis. Terlihat Ceda (celana dalam) yang sedang menutup mukanya dengan tangan sambil menyapu air matanya yang terus mengalir.
“Kamu kenapa?” Tanya jilbab.
“Apa yang membuat engkau menangis segitunya, kawan?” Kurung ikut bertanya.
“Ayo katakan, kenapa?” desak Rope.
Ceda masih tertunduk, ia malu mengangkat wajahnya. Nada suara yang serak-serak dipaksa untuk keluar dari bibir tipisnya.
“Aku juga sedih, teman-teman” jawabnya.
“Kenapa?” suara tanya mereka serentak. Mata mereka berbinar memandang Ceda yang masih tertunduk. Malu untuk mengangkat wajahnya.
“Aku juga sudah dilupakannya.” Ungkap Ceda.
Wanita muda itu membuka pintu kamar dengan berbalut sehelai handuk untuk menutupi tubuhnya, mukanya putih bersih. Rambutnya masih basah. Ia membuka lemarinya, lalu diambilnya beberapa helai pakaian, termasuk jilbab. Setelah memakai semuanya, ia berdiri di depan cermin besarnya. Dipandangnya lekat-lekat sosok yang mirip dirinya dalam cermin itu. Sesekali ia tersenyum. Setelah lama terdiam, disemprotkan parfum ke bajunya. Kemudian ia membuka pintu lalu pergi.
Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju
siswari, mahasiswa di sekolah tinggi agam islam (STAI) Natuna.
tinggal di Ranai, Natuna, Kepulauan Riau
Dalam kamarnya, menyengat bau wangi dari aroma parfum yang ditinggalkannya. Tempat tidurnya masih berserakan, selimut dan guling pontang-panting. Di sudut kanan cermin besarnya, berdiri gagah lemari pakaian yang menjulang hampir menyentuh langit-langit kamarnya. Berwarna kuning muda, mengkilat.
“Kenapa dia tidak mengambilku saat membuka pintu itu?” ungkap Jilbab dengan wajah kesal. Ia sudah lama tidak keluar dari dalam lemari pengap itu.
“Sejak lulus Madrasyah, aku sudah jarang menemaninya, apakah ia sudah lupa akan jasaku padanya? Akulah yang menemaninya pergi mengaji ke rumah Cik Taupik hingga ia Khatam Al-qur’an, aku juga yang selalu menemaninya selama tiga tahun di madrasyah, apakah aku sudah tidak penting lagi baginya?” keluh Jilbab sambil menundukkan mukanya. Menyimpan kesedihannya.
“Ahh, sudahlah, Ji. Tidak usah terlalu disedihkan. Aku juga miris melihatnya begitu. Dibanding denganmu, aku lebih sedih lagi. Aku hanya keluar dari ruang gelap ini satu bulan sekali. Itu pun Ibunya yang mengeluarkanku” ungkap Kurung Melayu mencoba menenangkan hati Jilbab.
“Apa ia sudah lupa akan pelajaran yang didapatnya saat Madrasyah dulu bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya” Jilbab meneruskan kata-katanya.
“Aku rasa, ia tidak melupakannya, Ji. Manusia memang begitu, ia tahu bahwa hal itu wajib, tetapi tetap saja ditinggalkannya” jelas Kurung, memelankan suaranya sambil melilik bilik sebelah kanannya.
“Aku sangat sedih melihat prilakunya akhir-akhir ini, ibunya juga sudah tak kuasa memperingatinya. Aku rindu saat-saat aku selalu menemaninya. Mengikuti kemanapun ia pergi. Sekarang aku benar-benar kehilangan sahabat seperti dirinya. Aku sudah jarang diajaknya keluar dari ruang pengap ini. Walaupun aku keluar dari sini, aku sudah tidak dipasangkan bersamamu lagi, Kur” ratap Jilbab, wajahnya masih tertunduk, pipinya merah menahan bulir air mata yang hendak mencuat keluar.
“Ha, ha, ha. Apa yang sedang kalian keluhkan, kawan?” sambung celana jeans panjang mengejutkan Kurung yang sedang serius memperhatikan jilbab.
“Engkau tidak senasib dengan kami, engkau sering keluar dari lemari ini menemani paha mulusnya. Menjajaki setiap langkah kakinya saat ia pergi ke luar rumah. Sedangkan kami, sudah lama sekali tidak diajaknya keluar dari sini. Rasanya, aku sudah sangat bosan di ruangan gelap gulita ini. Aku ingin menemaninya seperti dahulu. Aku sungguh menyayanginya” jelas Kurung.
“Sekarang zaman modern, kawan. Aku adalah produk dari moderenisme tersebut. Sedangkan kalian, sudah ketinggalan zaman. Mana mungkin kalian diajaknya lagi keluar dari tempat ini. Sudahlah, terima takdir saja. Sahabat kalian itu telah mati, sekarang ia adalah sahabatku. Aku juga pakaian yang nyaman dipakai olehnya” kata Jeans dengan nada sombong, dadanya diangkat tinggi-tinggi, jarinya diacungkan ke depan meremehkan Jilbab dan Kurung.
“Ohh, tidak. Memakaimu memang sangat nyaman, namun engkau tidak pernah benar-benar menutup tubuhnya. Ia masih tel*njang saat engkau menemaninya. Untuk apa memakai pakaian tapi masih tel*njang. Sungguh, hal itu berdosa” Jilbab mengangkat dagunya, tatapan tajam tertuju kepada Jeans.
“Dosa, katamu? Manusia kini tidak lagi menghitung dosa, kawan. Banyak di antara mereka yang mengerti betul bahwa mencuri itu berdosa, tapi mereka tetap melakukannya bukan? Apalagi dosa berpakaian seperti yang engkau sebutkan itu, mana mungkin mereka mengurusnya.” Jelas Jeans.
“Perkataanmu ada benarnya, jeans. Tapi aku benar-benar tidak ingin ia melupakan aku. Aku adalah titipan Tuhan. Memakaiku akan mendapat pahala. Aku juga sebagai pereda birahi pria-pria hidung belang di luar sana yang siap menerkamnya.” Sambung jilbab.
“Tidak… tidak, toh masih banyak wanita di luar sana yang menggunakanmu di kepala mereka, tapi tetap saja mereka lebih liar daripada wanita yang tidak menggunakanmu.” Jeans membalas perkataan Jilbab.
“Tunggu, Ji. Kita juga sering dipasangkan berdua, bukan?. Bersama dia juga.” Sambung Jeans sambil menoleh ke arah Kaos lengan panjang yang dari tadi diam, mendengar dialog mereka. Ia tersenyum manis. Tanpa kata. Lidahnya masih kelu untuk mengikuti alur pembicaraan mereka sambil mengusap-usap sela matanya. Ia baru saja bangun dari lelapnya. Matanya masih terasa lekat.
“Iya, benar. Tapi sebenarnya aku tidak cocok dan tidak sudi berpasangan dengan kalian berdua. Pasanganku adalah kurung melayu sedari dulu. Kalian berdua itu memang sama-sama menutupi tubuhnya. Tapi tetap saja lekuk-lekuk tubuh sintalnya terpampang jelas, dada bes*rnya masih saja melahirkan birahi bagi yang memandangnya, begitu juga dengan pinggulnya. Kalian tidak benar-benar melindungi dirinya” ungkap Jilbab. Nada suaranya sedikit naik.
“Memang akulah yang sesuai untuk pasangan jilbab. Aku ini tidak memamerkan lekuk dan garis-garis dari tubuhnya” tukas Kurung.
“Tapi saat ini, kamilah sahabatnya. Bukanlah kami yang membujuknya menggunakan kami, tapi itu kemauannya sendiri. Kami ini mengikuti trend. Tidak ketinggalan zaman seperti kalian” Jeans langsung menimpali jawaban Kurung sambil menoleh ke arah Rope (Rok pendek) yang berada di dekatnya.
“Iya, kita ini trend. Tanpa kita dia tidak akan kelihatan menarik. Kalian tahu? Tujuan wanita adalah untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Pilihannya adalah kami berdua. Ketika kami menemaninya, mata-mata di luar sana tidak berkedip memandang ke arahnya. Senyum manis mereka selalu tersungging untuk kami. Entah apa maksud senyuman itu, kami tidak tahu. Ia selalu membalas senyuman-senyuman itu. Kami berdua juga tersenyum” jelas Rope.
“Sudah, sudah. Aku sungguh tidak menyukai keberadaan kalian. Produk-produk moderenisme yang merusak budaya lokal. Seandainya aku bisa melompat keluar. Telah aku lakukan sedari dulu. Kalian itu hanya akan membawanya kepada kemaksiatan. Apa kalian menyadarinya?” jawab jilbab. Matanya melotot. Air matanya sudah mengering. Darahnya terasa naik ke ubun-ubun. Jeans dan Rope terdiam, mematung tanpa kata. Mereka saling memandang, tapi tetap diam, terus mendengar curahan hati Jilbab.
“Saat kalian menemaninya, menjulur-julur nafsu syaitan dari mata yang memandanginya. Impian mereka ialah menyusuri tubuh mulusnya itu di tiap jengkalnya. Kalian tahu, kalau barang mahal itu jangan dipamerkan, sebab ia akan menjadi murah.” Sambung jilbab.
“Maksudmu?” serentak Jeans dan Rope menjawab.
“Lihat saja penjual ikan asin, selalu memajang dagangannya di beranda. Barang murah itu dijamahi siapa saja yang melihatnya. Lalat-lalat, atau nyamuk iseng yang menghampirinya. Sedangkan penjual emas, ia selalu menyimpannya di tempat yang aman, di dalam lemari kaca dan di dalam kotak. Itu menandakan barang yang mahal. Tidak sembarang yang boleh menjamahinya. Kecuali pembeli yang berkualitas. Bukan lalat-lalat atau nyamuk-nyamuk iseng” jelas Jilbab.
“Aku mengerti perasaanmu, Ji. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya produk. Saat ia memilihku sebagai temannya, aku tidak bisa menolaknya.” Ungkap Rope sambil menundukkan wajahnya. Ia prihatin dengan perasaan jilbab yang sedang kehilangan sahabatnya. Jeans masih terdiam, ia juga sudah tidak ingin berdebat dengan jilbab.
“Sudahlah. Do’kan saja agar ia cepat sadar dan kembali kepada prilaku masa lalunya” sambung Mukena yang dari tadi diam mendengarkan obrolan mereka. Semuanya mendongak ke atas, ke arah Mukena. Tingkat paling atas dalam lemari gelap itu.
“Aku hanya dikeluarkannya dua kali saja dalam satu tahun. Sungguh ironis bukan? Apa ia lupa dahulu ia selalu membuka pintu lemari dan menarik tanganku keluar lima kali dalam sehari. Aku juga sering disimpannya dalam tas sekolahnya. Menemaninya hingga pulang sekolah. Sungguh aku rindu masa-masa itu. Tapi kenapa kini ia begitu mudah melupakan aku.” Sambung Mukena, memaku semua kata-kata mereka yang dari tadi riuh gaduh. Mereka hanya diam termangu-mangu. Memandang pintu lemari yang tak kunjung terbuka. Gelap, pengap sungguh mengganggu pernapasan mereka.
“Dia gadis remaja yang lemah, mudah goyah oleh topan zaman yang terus menerjang. Ia mudah terpengaruh oleh hal-hal baru sehingga lupa akan kewajibannya sebagai mahluk yang beragama.” Jilbab memulai kembali kata-katanya.
“Kita disini hanya bisa berdo’a, semoga ia cepat sadar bahwa yang ia lakukannya adalah salah. Mohon maaf saja, kawan. Jika nanti ia sadar, tentunya kalian produk moderenisme tidak dipakainya lagi, atau bahkan kalian bisa dikeluarkan dari ruangan gelap ini. Bukan untuk menemaninya. Tapi untuk menghilang dari kehidupannya” jelas Jilbab.
“Ohh… kami tidak apa-apa, toh kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, kami hanya produk, dirinya sendirilah yang bisa mengubah dirinya. Kami rela jika harus berpisah dari kalian.” Jawab Rope, ia tertunduk. Sedikit sedih tergambar di wajahnya.
Suasana hening melanda dalam ruang gelap itu, semuanya terdiam setelah obrolan panjang, tiada kata yang terucap lagi, semuanya membatin dalam sanubari masing-masing. Kemudian terdengar suara tangisan yang terisak-isak dari arah tingkat bawah, mereka semuanya menunduk ke bawah, melihat siapa yang sedang menangis. Terlihat Ceda (celana dalam) yang sedang menutup mukanya dengan tangan sambil menyapu air matanya yang terus mengalir.
“Kamu kenapa?” Tanya jilbab.
“Apa yang membuat engkau menangis segitunya, kawan?” Kurung ikut bertanya.
“Ayo katakan, kenapa?” desak Rope.
Ceda masih tertunduk, ia malu mengangkat wajahnya. Nada suara yang serak-serak dipaksa untuk keluar dari bibir tipisnya.
“Aku juga sedih, teman-teman” jawabnya.
“Kenapa?” suara tanya mereka serentak. Mata mereka berbinar memandang Ceda yang masih tertunduk. Malu untuk mengangkat wajahnya.
“Aku juga sudah dilupakannya.” Ungkap Ceda.
Wanita muda itu membuka pintu kamar dengan berbalut sehelai handuk untuk menutupi tubuhnya, mukanya putih bersih. Rambutnya masih basah. Ia membuka lemarinya, lalu diambilnya beberapa helai pakaian, termasuk jilbab. Setelah memakai semuanya, ia berdiri di depan cermin besarnya. Dipandangnya lekat-lekat sosok yang mirip dirinya dalam cermin itu. Sesekali ia tersenyum. Setelah lama terdiam, disemprotkan parfum ke bajunya. Kemudian ia membuka pintu lalu pergi.
Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju
siswari, mahasiswa di sekolah tinggi agam islam (STAI) Natuna.
tinggal di Ranai, Natuna, Kepulauan Riau
Janji
“Tari! Kamu harus janji ya!”
“Janji apa Riani?”
“Kan aku udah janji, aku bakalan balik lagi ke sini dua tahun lagi, kamu juga harus janji kalau waktu itu tiba kamu harus udah berjilbab ya!!”
—
Matahari sudah muncul dan membungkam ayam yang biasa berkokok dikala subuh, namun Tari masih meringkuk di tempat tidurnya.
“Tari!!! Bangun nak, katanya kamu harus berangkat pagi, hari ini!!” teriak mama Tari dari depan pintu kamar Tari.
“Mmmm.., iya ma…” balas Tari alakadarnya.
Padahal jam weker digitalnya sudah menunjukkan angka 06.03, tapi masih saja rasa kantuk menyerang Tari.
Akhirnya Tari beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke kamar mandi ketika mendengar piring pecah yang dijatuhkan mama Tari. Padahal itu tidak sengaja, tapi karena Tari takut mamanya marah-marah di pagi hari sampai memecahkan piring karena Tari telat bangun, akhirnya Tari beranjak dari tempat tidurnya.
Setelah mandi seragam SMA Tari sudah melekat di tubuhnya, ia memandangi wajahnya di cermin meja riasnya. Dia teringat mimpinya semalam tentang percakapan terakhirnya dengan sahabat sejak kecilnya sebelum sahabatnya itu pergi ke luar negeri.
Saat itu mereka kelas tiga SMP, sahabat Tari, Riani, harus pindah ke Singapura untuk menjalani perawatan karena Riani terserang penyakit kanker paru-paru. Sebelumnya keluarga Riani sudah melakukan berbagai pengobatan di Indonesia, dari ke tabib-tabib hingga kemoterapi. Hal itu sudah dijalani Riani selama dua bulan, tapi tetap saja kanker yang diderita Riani terus menjadi lebih ganas. Akhirnya keluarga Riani pindah ke Singapura dengan harapan pengobatan di sana bisa mempertahankan keberadaan Riani di dunia lebih lama, terlebih lagi karena Riani merupakan anak tunggal dan cucu satu-satunya dari keluarga ayahnya.
Pengobatan di Indonesia sudah dijalani Riani sejak semester satu kelas tiga SMP. Tak ayal, banyak efek samping yang dia terima, salah satunya efek kemoterapi yang menyebabkan Riani kehilangan mahkotanya, rambut panjang ikal yang lebat nan hitam. Akhirnya Riani memutuskan mengenakan jilbab mulai saat itu.
Tari heran sebenarnya, kenapa Riani lebih memilih berjilbab dibanding tudung kain yang Tari sarankan pada waktu itu? Tari memang tidak suka memakai jilbab, karena menurutnya berjilbab itu panas dan gerah. Tapi setelah melihat Riani nyaman dan lebih sabar mengahadapi penyakit yang dideritanya setelah memakai jilbab, mungkin karena sejak itu juga Riani mulai dekat dengan Allah. Tari jadi tidak bisa memaksakan sarannya pada Riani. Riani juga sering mengajak Tari sholat, sehingga sampai saat ini, semalas apapun Tari dan setelat apapun Tari bangun dia tetap sudah melakukan sholat lima waktu.
Hingga pada saat detik-detik kepergian Riani ke Singapura, Riani memintanya berjanji untuk sudah memakai jilbab ketika Riani kembali. Permintaan Riani itu layaknya sambaran petir pada Tari, karena Tari benar-benar tidak suka memakai jilbab, sekali lagi, BENAR-BENAR TIDAK SUKA. Tentu saja alasannya sudah tertulis di paragraf sebelumnya. Terbukti hingga saat ini, tepat seminggu sebelum kepulangan Riani ke Indonesia, mahkota bagi umat Islam, khususnya kaum hawa itu belum terpakai secara permanen di kepalanya.
—
Tari kembali memandangi wajahnya di cermin, kini rambutnya tak terlihat karena sudah tertutupi jilbab yang baru saja dipakainya. Sayangnya, jilbab ini dipakainya bukan untuk menepati janjinya pada Riani, tapi untuk memenuhi aturan sekolah yang mewajibkan setiap murid perempuan yang muslim memakai jilbab di hari Jum’at karena akan diadakan kegiatan iman dan taqwa (IMTAQ).
“Hhaahhh..,” Tari menghembuskan nafas panjang. Jujur saja, permintaan terakhir Riani sebelum dia pergi itu sangat memberatkan bagi Tari. Tapi Tari bertekad, hari ini dia akan mempertahankan jilbabnya sampai pulang sekolah. Walaupun dia tau, tekad ini sangat rapuh, dan akan mencair seiring bertambahnya temperatur bumi di siang hari.
“Hhaahh..” Tari menghembuskan nafas panjang lagi, lalu beranjak untuk pergi ke sekolah.
Bel tanda pelajaran masuk sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu, tapi kegiatan Tari tidak berubah sejak masuk ke kelasnya setelah kegiatan IMTAQ selesai. Dia termenung sendiri. Jilbab yang tadi pagi dipakainya kini sudah lepas dari kepalanya.
Tari masih terngiang-ngiang perkataan ustad yang mengisi acara IMTAQ tersebut yang entah kenapa temanya sama dengan apa yang sejak tadi pagi menjadi kegalauan hatinya yaitu “Keutamaan Berhijab”.
…kalau kalian, kaum hawa, tidak memakai jilbab karena alasan panas dan gerah, coba bandingkan panasnya dunia dengan panasnya api neraka!!…
Tari selalu merinding setiap memikirkan perkataan ustad itu. Akhirnya, satu-satunya alasan Tari untuk tidak menutup aurat telah dipatahkan. Pikirannya mulai mencari-cari alasan apa lagi yang bisa dipakai untuk penundaan selanjutnya, tetapi tetap saja tidak ketemu.
“Tapi aku kan belum siaappp!!!” ujar Tari gusar. Untungnya saat itu suasana kelas sedang ramai sehingga yang mengetahui kegusaran Tari hanya orang yang ada di sebelahnya yang pastinya bukan teman sebangkunya, karena teman sebangkunya kini sedang tidak masuk sekolah.
“Mmm, apanya yang belum siap?” terdengar suara asing tepat di sebelah Tari. Tari langsung menoleh kaget. Di sebelahnya sekarang duduk seorang gadis berjilbab yang memandanginya heran. Tari memasang wajah heran dan kaget, karena dia benar-benar tidak mengenal orang yang sekarang ada di sebelahnya ini. Gadis yang ada di sebelahnya ini kini tersenyum maklum. “Maaf, kamu pasti nggak kenal aku kan?” Tari merasakan pipinya memanas, pasti wajahnya mengatakan kekagetannya walaupun dia tidak berbicara apa-apa. “Aku anak baru, tadi saat aku memperkenalkan diri pasti kamu lagi melamun seperti tadi.” anak itu kemudian mengulurkan tangannya. “Namaku Ina, Inair A. Wardoyo” katanya ramah. Tari terpaku sesaat, Wardoyo, Wardoyo, kok perasaan pernah denger ya? Kemudian Tari sadar sudah menggantungkan tangan Ina yang terulur dan segera menyambut uluran tangan tersebut.
“Tari, Ihda Mentari.” Ucap Tari hampir tak terdengar. Lalu melirik ke arah Ina yang entah kenapa sekarang terlihat gusar.
“Mmm, maaf ya sebelumnya. Kamu ini agamanya apa?” tanya Ina dengan suara selirih hembusan angin, namun dampaknya terhadap Tari sangat besar. Tari merasa seperti ada panah yang menembus jantungnya dan menyuarakan bunyi JLEB yang sangat keras.
“Maksud kamu apa?” Tari balas bertanya dengan ketus. Ia melihat Ina malah tesenyum dan berkata lembut padanya.
“Kalau melihat dari reaksimu, pasti kamu Islam ya kan?” tanya Ina, tapi Tari tahu, Ina tidak membutuhkan jawabannya karena setelah bertanya, Ina langsung melanjutkan. “Soalnya kalau aku nanya seperti itu sama orang non islam pasti dia jawab biasa aja.” Tari cemberut, Ina ini ngomong apa sih?
“Ooooo..,” Tari memutuskan untuk ber-ooo panjang, lalu melihat ke sekeliling kelas. Dia baru sadar kalau sekarang lagi tidak ada guru. Seingatnya guru yang masuk ke kelasnya hanya wali kelas yang mungkin masuk hanya untuk memperkenalkan orang yang sekarang ada di sebelahnya ini. “Eh, kok nggak ada guru sih? Kamu tahu kenapa?”
Wajah Ina menjadi cerah karena Tari tidak menyuekinya lagi. “Hari ini nggak belajar, mau persiapan UN kelas 3 minggu depan katanya.” Tari mengangguk-angguk lalu diam kembali.
Tiba-tiba Tari sadar, persiapan UN kelas 3? Berarti udah akhir tahun pelajaran dong? Kok bisa Ina…
“Kamu kok….,”
“Eh Tar, ke kantin yuk? Sekalian muter-muter, kan hari ini hari pertama aku di sini.” Ina memotong ucapan Tari. Seketika Tari terdiam, dan menyadari perutnya keroncongan karena tidak sempat makan tadi pagi. Tari akhirnya memutuskan untuk ke kantin diikuti Ina dan menyimpan petanyaannya hingga nanti.
Di kantin, ternyata yang memesan makanan hanya Tari, sedangkan Ina hanya menonton Tari makan.
“Kok nggak makan? Kan kamu yang ngajak.” Tanya Tari sambil terus menyuap bubur ayam yang baru diantarkan ibu kantin.
“Udah kenyang. Aku ngajak kamu soalnya kamu kelihatan kelaparan.” Jawab Ina santai. Tari meringis. “Eh, soal pertanyaan tadi, maaf ya.” Ujar Ina tiba-tiba, sebenrnya dia hanya memancing Tari. Namun, Tari sudah tidak mau mengambil pusing soal itu lagi, jadi dia hanya mengangguk. “Tapi, jujur nih. Aku nggak pernah lho ditanyaiin seperti itu sama orang.” Pancing Ina lagi. Tari langsung melotot ke arahnya. Ina tersenyum.
“Kamu nih ya..,” Tari menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu kan pakai jilbab! Jadi..,”
“Jadi karena aku pakai jilbab jadi apa?” potong Ina sambil tersenyum. “Kalau aku pakai jilbab semua orang tau kalau aku muslim ya kan?” lanjutnya. “Kesimpulannya jilbab itu merupakan identitas setiap muslimah! Keren kan?” tutupnya dengan semangat. Seketika Tari tertegun, entah karena dari semangat Ina yang mirip dengan Riani atau dia yang baru sadar akan arti lain jilbab dari setiap muslim.
“Kamu bangga ya pakai jilbab?” sebuah pertanyaan tiba-tiba terucap dari mulut Tari.
“Iya, dong!! Dan tahu nggak Tar? Itu cuma salah satu dari sekian banyak keutamaan berjilbab.” Ucap Ina makin semangat. Berkebalikan dengan Tari yang kini hanya terdiam memandang bubur ayamnya.
Tari teringat kembali tentanng janjinya kepada Riani. Mungkin Allah SWT membantu dia untuk menepati janjinya melalui Ina ini.
“Ina.” Panggil Tari setelah terdiam cukup lama.
“Apa Tar?” jawab Ina cepat. Tari menghela nafas panjang sebelum melanjutkan.
“Ada yang mau ku ceritain ke kamu. Mungkin aneh ya? Habisnya kita baru aja ketemu. Aku harap nanti kamu bisa bantu memecahkan masalahku.”
Dan mengalirlah cerita tentang Riani dari mulut Tari. Cerita yang Tari tidak menyangka ternyata cukup menguras emosinya, sehingga curhatan Tari diselingi dengan isak tangis. Sampai pada akhirnya, Tari juga menceritakan permintaan terakhir Riani dan betapa sulitnya Tari memenuhi permintaan tersebut.
Setelah hampir 15 menit Tari bercerita, Tari malah mendapatkan komentar yang sangat tidak disangkanya dari Ina.
“Ternyata kamu egois ya!” ucap Ina. Seketika Tari mematung. “Tau nggak sih Tar? Dibanding kamu, yang lebih menderita tuh si Riani. Kamu kira gampang Riani memenuhi janjinya untuk bisa pulang ke sini 2 tahun lagi? Riani tuh kena kanker Tar, hidup sebulan aja udah bersyukur.” Kata Ina terdengar kecewa. Amarah Tari keluar ketika mendengar kalimat terakhir Ina.
“KAMU TAU APA NA?”
“Aku tahu banyak Tari. Seharusnya kamu bisa membandingkan usaha kamu untuk memenuhi janji dengan usaha Riani agar bisa hidup selama dua tahun! Nggak sebanding tau! Maksud Riani tuh baik buat kamu! Kamu kira gampang untuk tetap hidup kalau kena penyakit kanker!” Ina menjelaskan dengan penuh penekanan.
Tari kini tersentak, kalimat penuh penekanan Ina menyadarkan dirinya yang sudah begitu egois. Dia pun hanya terdiam sampai bunyi bel pulang berbunyi.
“Ina, kamu bisa bantu aku untuk memenuhi janjiku?” kata Tari kemudian. Tari bisa melihat senyum yang mengembang di wajah Ina.
“Aku bisa bantu kamu. Aku bisa bebas bantu kamu enam hari ke depan.” ucap Ina dengan nada yang tidak lagi penuh penekanan. Tari mengerutkan keningnya.
“Kok bisa bebas?” tanyanya. Ina terdiam sebentar, lalu tersenyum lagi.
“Soalnya, enam hari kedepan kita free.., gara-gara anak kelas tiga ujian” jelasnya. Tari mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia teringat pertanyaannya yang belum selesai dia tanyakan ke Ina. Tapi dia memutuskan untuk menanyakannya lain kali.
Enam hari yang panjang dilewati Tari dengan penuh pengorbanan. Tapi akhir yang didapatkannya sangat menguntungkan. Dari Ina ia belajar untuk mengenal Islam, khususnya soal menutup aurat. Tari jadi lebih mengetahui keutamaan-keutamaan menutup aurat dari Ina dengan didukung oleh ayat-ayat yang ada di Al Qur’an. Contohnya saja Ina memberi tahunya keutamaan menutup aurat dengan surat Al Ahzab ayat 59 yang mengatakan bahwa dengan berjilbab (menutup aurat) seorang muslimah akan lebih mudah dikenali dan dia tidak akan diganggu oleh orang-orang jahil. Juga pada surat Al A’raaf ayat 26 yang mengatakan bahwa menutup aurat itu merupakan salah satu bentuk ketakwaan. Akhirnya, Tari dengan sepenuh hati memenuhi salah satu kewajiban setiap muslimah itu.
Hari ini adalah hari pertemuan kembali Tari dengan sahabatnya. Sejak pagi Tari sudah siap-siap dan kini dia sudah berjalan ke taman tempat dulu Riani menyatakan permintaan terakhirnya sebelum dia pergi.
Tari menunggu berjam-jam, akan tetapi tidak terlihat wujud yang dikenal Tari satu pun di sekitar taman.
Tiba-tiba hanphonenya berdering. Telepon dari mamanya.
“Assalamualaikum, Ma, ada apa?” Tari terkejut karena yang didengarnya pertama adalah isak tangis.
“Riani meninggal pagi ini Tari.., Riani sudah koma sejak seminggu yang lalu..,” perkataan mamanya seketika meluruhkan tubuh Tari. Ia terduduk di rerumputan taman. Tari kembali teringat kata-kata Ina tentang kanker yang entah kenapa tidak disadarinya sejak awal. Akhirnya Tari menangis.
Tari menjadi ingat Ina. Dia ingin bertemu Ina tapi dia tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Selama dia belajar Islam dari Ina mereka hanya berjanji untuk bertemu di sekolah di jam yang sudah ditentukan sebelumnya, Ina tidak pernah memberi tahu nomer handphonenya.
“Ina, Ina, Ina..,” Tari menyebut nama Ina, entah kenapa ia berharap Ina dapat mendengarnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu “Ina… Inair, Inair… RIANI!!”
“Apa Tari??” Tari tersentak dan melihat ke belakang dilihatnya Ina yang sedang berjalan ke arahnya. Semakin Ina mendekat, wajahnya semakin mirip dengan Riani. Hingga Tari yakin yang berdiri di hadapannya kini memang Riani.
“Riani..,” ucapnya lirih. Riani tersenyum. Dan memeluk Tari.
“Maafkan aku, aku nggak bisa menepati janji. Kamu.., tetap istiqomah yaa..,” ucap Riani.
Tari tertegun, ia baru menyadari sesuatu. Pantas saja Ina bisa pindah sekolah di akhir tahun, karena sebenarnya dia tidak pindah, tapi hanya hadir dan disadari oleh Tari seorang. Tari sekarang juga tahu Wardoyo yang ada di belakang nama Ina adalah nama belakang Riani yang biasanya disingkat “W” dan “A” pada nama Ina adalah “Amalia” pada nama Riani. Ina tidak pernah makan selama bersama Tari, karena memang Ina hanya sesosok roh yang hanya diketahui Tari seorang. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang?
Tari kembali tersentak. Bahkan di akhir hidupnya Riani masih sempat membantunya untuk berada di jalan yang diridhai Allah. Air mata Tari kembali menetes saat Riani hanya terlihat seperti kabut saja. Rasa penuh terimakasih memenuhi dadanya.
“Terima kasih, Riani…”
THE END
Cerpen Karangan: Nadia Fikrunnisa
Facebook: Nadia FikrunAnis
Sore hari dibalut dengan cahaya kuning. Kata orang desaku
senja kala. Dimana langit berwarna jingga. Masih terasa dingin karena
hujan menyisakkan rintik. Aku turun dari bis. Air mata yang dari tadi
kutahan sejak mendengar kematian kakak sontak keluar ketika aku melihat
bendera hijau yang melambai-lambai di depan rumah. Bendera yang sudah
menjadi piala bergilir bagi orang-orang yang habis masa aktifnya di
dunia ini. Bendera kematian.
Aku berlari menuju rumah dengan iringan gerimis yang sedari tadi menepuk-nepuk lembut tubuhku. Tapi sayang aku tak hirau. Suasana haru mulai kurasakan dengan wangi yang aku benci. Wangi dupa yang bagiku mengerikan. Dupa sering digunakan orang-orang di kampungku bila ada acara kematian, haulan atau selamatan dan hal-hal yang berbau mistik lainnya.
Ternyata ini bukan mimpi. Mayat di depanku adalah kakakku. Kepulanganku dari Perantauan ternyata disambut dengan kejutan yang mengerikan. Tiba-tiba kakiku rasanya berpijak di hamparan es, tubuhku dingin tak berdaya. Lututku gemetar seirama dengan isak tangisku. Mengapa semua ini bisa terjadi. Kalimat itu selalu berdendang riuh di pikiranku. Aku hilang kendali. “Ahhh kakak kenapa kau bodoh sekali! Mengapa kau seperti ini?” Teriakku kencang namun masih terengah.
Orang-orang yang melayat langsung memandangku bingung, ibu langsung berdiri mendekapku yang sedari tadi membacakan surah yasin di samping kakakku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memandang ke arah bapakku. “Apa saja yang kau lakukan pak, apa saja? Mengapa kau hanya mengurus mesjid. Apakah kau hanya ingin mendapat pandangan baik dari orang-orang kampung, serta merta melupakan anakmu! Seandainya kau sering memperhatikan dan mengajaknya bicara kakak tidak akan mati! Kau boleh beribadah, mengikuti kegiatan-kegiatan agama tapi kau juga harus ingat kau punya anak yang butuh perhatian darimu. Jangan hanya karena ia sudah tidak waras kau sering mengacuhannya. Cukup aku yang tak kau pedulikan.” Lagi-lagi aku tak bisa mengendalikan diriku. Emosiku meluap-luap dengan tangisan yang tak bisa kutahan.
Ibu menangis dan mencoba menenangkanku. Bapak hanya terdiam menahan malu, karena sudah banyak sekali orang berdatangan untuk berta’ziah. Atau sekedar melihat-lihat kakakku yang mati mengenaskan. Aku lihat di wajah bapak juga terdapat gurat-gurat penyesalan yang teramat dalam. Ibu mengajakku duduk. Tepat di samping mayat kakak. Ia kembali membaca surah yasin. Aku tak bisa membacakan surah yasin untuk kakakku. Karena sekarang aku sudah tidak begitu lancar membaca tulisan arab terang saja memori otakku sudah tidak bisa mengingat apa yang diajarkan bapak dulu. Daya serap otakku berkurang karena efek dari obat-obatan yang dulu pernah aku konsumsi.
Aku menarik nafas lalu membuangnya. Bermaksud untuk menenangkan emosiku. Aku melihat tetesan kesedihan pada butir-butir air mata ibu. Aku melihat kepedihannya ia balut dengan sisa-sisa kesabarannya. Aku teringat ketika kakakku tiba-tiba menghilang dari rumah, ia langsung mencarinya tak peduli malam sudah larut, sedangkan bapak dengan nyenyaknya tidur di rumah. Aku memandang mayat kakakku dalam. Kaku hanya diam. Wajah yang dulunya cerah kini tampak pucat pasi. Ia terlihat tak begitu senang menyambut kedatanganku. Tersenyum pun tidak. Haha, mungkin aku sudah gila. Jelas saja orang yang sudah mati takkan bisa tersenyum apalagi bicara. “Kakak”, rintihku. “Aku sekarang sudah punya banyak uang, aku tidak akan meminta uang pada bapak dan ibu lagi. Aku juga banyak sekali membelikan pakaian baru untukmu, agar kau tidak memakai baju dan sarung yang itu-itu saja. Apapun yang kau minta akan aku kasih, apapun. Ku mohon bicaralah. Aku berjanji akan selalu menemanimu, akan mengajakmu bicara agar kau tak merasa sendirian dan melamun karena tidak punya teman. Kaulah yang selalu membelaku ketika ayah memarahiku meski terkadang aku acuh padamu.” Tetap saja kakakku diam membisu.
Sepertinya aku benar-benar sudah gila. Sampai detik ini rasanya aku masih tidak percaya kakak sudah meninggal. Airmataku pun mengalir tanpa henti. Ku dengar isak tangis ibu pun meninggi. Aku menutup kembali wajah kakakku yang dari tadi kubuka. Aku terus memandang mayat yang tertutup sehelai kain batik yang penuh mistik. Kain bercorak burung dengan garis-garis melengkung berwarna coklat yang tak kumengerti maknanya. Inilah Kakakku yang penurut dan sangat alim. Inilah kakakku yang ingin selalu memperdalam ilmu ketauhidan. Inilah kakakku yang dulu selalu dibanggakan dan sangat disayangi bapak. Ia yang selalu menjadi bandingan pada diriku. Bandingan antara anak laki-laki penurut dan anak laki-laki yang suka membangkang. Takdir memang kejam. Tapi mungkin inilah yang terbaik. Tuhan tidak ingin menyakiti hambanya terlalu lama. Kakakku meninggal dalam keadaan tidak waras. Ia kehilangan jiwanya sebagai manusia normal. Entah ilmu apa yang sedang dipelajarinya. Ilmu yang ia maksudkan untuk lebih mendekatkannya pada sang khalik ternyata membawa petaka bagi dirinya. Ia memperdalam ilmu yang tak pernah aku mengerti. Ia mempelajarinya sendiri tanpa bimbingan guru. Ia seperti seorang pertapa. Siang dan malam hanya membaca kitab yang entah dari mana ia dapatkan. Tidak ada yang tahu apa alasannya sehingga ia begitu ingin mempelajari ilmu tersebut. Orang- orang sering menyebutnya ilmu tasawuf. Bukankah ilmu tasawuf adalah ilmu yang ingin mengenal siapa Tuhannya lebih dalam. Mungkin ia begitu cinta dengan Tuhan. Mungkin ia ingin mengenal lebih dalam. Tapi, malang yang didapat. Ia menjadi tidak waras. Kata orang pintar di kampungku mungkin saja daya tangkap otaknya tidak mampu menerima ilmu yang terlalu tinggi. Ia juga mempelajarinya tanpa guru. Dan ia juga terbilang masih muda. Tapi, jika dikaitkan dengan ilmu medis, kakakku mengalami gangguan jiwa. Entahlah aku juga tidak begitu mengerti.
Sebelum aku pergi merantau ke luar kalimantan. Aku melihat kelakuan-kelakuan aneh dari kakakku. Ia sering bercerita bisa melihat orang yang sudah mati. Walau aku tidak mempercayainya tapi bulu kudukku langsung berdiri ketika mendengarnya. Ia juga sering berbicara sendiri dan tertawa sendiri. Mungkin dia sedang berinteraksi dengan orang-orang gaib. Tapi, sekali lagi entahlah. Aku tidak mengerti. Ada juga yang mengatakan jika kakakku melakukan hal-hal aneh itu berarti ia dimasuki jin. Sulit dipercaya memang. Ia juga sering menghilang dan berada di tempat- tempat sunyi seperti di halaman belakang dan kadang pergi ke hutan. Setelah dicari dan ditemukan ia sedang duduk di bawah pohon sendirian. Jika aku dalam keadaan baik atau moodku sedang bagus. Aku sering mengajaknya bicara. Ketika ku ajak bicara. Responnya sangat lambat ia lebih banyak diam. Tetapi jika terus kupancing untuk bicara ia akan bicara seperti orang normal.
Kondisi kakak memuncak ketika ia sering menyakiti dirinya sendiri dengan menyayat tangan menggunakan silet atau pisau. Sempat kakakku dibawa ke rumah sakit jiwa. Dengan harapan ia bisa sembuh. Tapi hasilnya nihil. Kakak tak kunjung sembuh. Malah semakin parah. Orangtuaku kehabisan akal untuk menyembuhkan kakakku. Sehingga dibiarkan begitu saja. Bapak mulai tidak peduli dengan kakakku. Mungkin ia sudah merasa lelah mengurus kakakku. Ia sering memarahi kakakku ketika kakakku melakukan hal-hal aneh. Bagaimana orang seperti itu dimarahi. Orang seperti itu seharusnya lebih banyak didekati. Aku marah pada bapak yang tega mengurungnya di rumah dan membiarkan kondisi kakakku bertambah parah. Seharusnya ia lebih sering mengajaknya bicara agar pikirannya tidak kosong. Semua keluarga bingung dengan penyakit yang di alami kakakku. Jika dikatakan gila kenapa ia masih mengerjakan kewajibannya sebagai umat muslim seperti shalat dan ibadah lainnya. Jika dikatakan masih waras kenapa ia sering menyakiti dirinya sendiri. Jika bicara mistik atau gaib hanya Allahlah yang maha tahu atas apa yang terjadi pada hambanya. Inilah rahasiaNya.
Apapun yang terjadi. Aku juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bukankah ini di luar kuasa manusia. Inilah goresan takdir dari-Nya. Mayat di hadapanku sekarang adalah kakakku. Mayat yang hanya malam ini saja bisa bermalam di rumah. Karena besok ia akan menempati rumah abadinya. Aku pasti sangat merindukannya. Kini ia sudah tiada. Mati dengan mengenaskan. Dan penyebab kematiannya adalah menelan deterjen. Entah makhluk apa yang sedang membisikinya atau mungkin telah merasukinya. Yang sering kulihat dulu ia sering melakukan itu tapi hanya berkumur-kumur dengan busa deterjen. Ia mengaduk-ngaduk deterjen pada ember dan berkumur-kumur dengan busa tersebut.
Ketika aku tanya “Kenapa kau berkumur-kumur dengan busa deterjen”. Ia menjawab “Aku ingin membersihkan mulutku atas dosa dari perkataan-perkataanku”. Aku sontak terkejut hingga keluar perkataanku yang sangat kusesali. “Heh, Kenapa tidak sekalian deterjen kau masukkan ke mulut, pasti langsung bersih semua dosa-dosamu.” Aku tertawa sinis. Dan benar. Kata-kataku benar-benar ia lakukan. Busa memenuhi mulutnya. Sempat diduga karena keracunan makanan. Orang yang alim seperti kakak saja masih ingat untuk membersihkan diri dari dosa. Lalu bagaimana dengan diriku yang berlumur dosa. Apakah aku harus menyeburkan diri pada lautan deterjen?
Cerpen Karangan: Siti Mahillah
Facebook: Siti Mahillah
“Janji apa Riani?”
“Kan aku udah janji, aku bakalan balik lagi ke sini dua tahun lagi, kamu juga harus janji kalau waktu itu tiba kamu harus udah berjilbab ya!!”
—
Matahari sudah muncul dan membungkam ayam yang biasa berkokok dikala subuh, namun Tari masih meringkuk di tempat tidurnya.
“Tari!!! Bangun nak, katanya kamu harus berangkat pagi, hari ini!!” teriak mama Tari dari depan pintu kamar Tari.
“Mmmm.., iya ma…” balas Tari alakadarnya.
Padahal jam weker digitalnya sudah menunjukkan angka 06.03, tapi masih saja rasa kantuk menyerang Tari.
Akhirnya Tari beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke kamar mandi ketika mendengar piring pecah yang dijatuhkan mama Tari. Padahal itu tidak sengaja, tapi karena Tari takut mamanya marah-marah di pagi hari sampai memecahkan piring karena Tari telat bangun, akhirnya Tari beranjak dari tempat tidurnya.
Setelah mandi seragam SMA Tari sudah melekat di tubuhnya, ia memandangi wajahnya di cermin meja riasnya. Dia teringat mimpinya semalam tentang percakapan terakhirnya dengan sahabat sejak kecilnya sebelum sahabatnya itu pergi ke luar negeri.
Saat itu mereka kelas tiga SMP, sahabat Tari, Riani, harus pindah ke Singapura untuk menjalani perawatan karena Riani terserang penyakit kanker paru-paru. Sebelumnya keluarga Riani sudah melakukan berbagai pengobatan di Indonesia, dari ke tabib-tabib hingga kemoterapi. Hal itu sudah dijalani Riani selama dua bulan, tapi tetap saja kanker yang diderita Riani terus menjadi lebih ganas. Akhirnya keluarga Riani pindah ke Singapura dengan harapan pengobatan di sana bisa mempertahankan keberadaan Riani di dunia lebih lama, terlebih lagi karena Riani merupakan anak tunggal dan cucu satu-satunya dari keluarga ayahnya.
Pengobatan di Indonesia sudah dijalani Riani sejak semester satu kelas tiga SMP. Tak ayal, banyak efek samping yang dia terima, salah satunya efek kemoterapi yang menyebabkan Riani kehilangan mahkotanya, rambut panjang ikal yang lebat nan hitam. Akhirnya Riani memutuskan mengenakan jilbab mulai saat itu.
Tari heran sebenarnya, kenapa Riani lebih memilih berjilbab dibanding tudung kain yang Tari sarankan pada waktu itu? Tari memang tidak suka memakai jilbab, karena menurutnya berjilbab itu panas dan gerah. Tapi setelah melihat Riani nyaman dan lebih sabar mengahadapi penyakit yang dideritanya setelah memakai jilbab, mungkin karena sejak itu juga Riani mulai dekat dengan Allah. Tari jadi tidak bisa memaksakan sarannya pada Riani. Riani juga sering mengajak Tari sholat, sehingga sampai saat ini, semalas apapun Tari dan setelat apapun Tari bangun dia tetap sudah melakukan sholat lima waktu.
Hingga pada saat detik-detik kepergian Riani ke Singapura, Riani memintanya berjanji untuk sudah memakai jilbab ketika Riani kembali. Permintaan Riani itu layaknya sambaran petir pada Tari, karena Tari benar-benar tidak suka memakai jilbab, sekali lagi, BENAR-BENAR TIDAK SUKA. Tentu saja alasannya sudah tertulis di paragraf sebelumnya. Terbukti hingga saat ini, tepat seminggu sebelum kepulangan Riani ke Indonesia, mahkota bagi umat Islam, khususnya kaum hawa itu belum terpakai secara permanen di kepalanya.
—
Tari kembali memandangi wajahnya di cermin, kini rambutnya tak terlihat karena sudah tertutupi jilbab yang baru saja dipakainya. Sayangnya, jilbab ini dipakainya bukan untuk menepati janjinya pada Riani, tapi untuk memenuhi aturan sekolah yang mewajibkan setiap murid perempuan yang muslim memakai jilbab di hari Jum’at karena akan diadakan kegiatan iman dan taqwa (IMTAQ).
“Hhaahhh..,” Tari menghembuskan nafas panjang. Jujur saja, permintaan terakhir Riani sebelum dia pergi itu sangat memberatkan bagi Tari. Tapi Tari bertekad, hari ini dia akan mempertahankan jilbabnya sampai pulang sekolah. Walaupun dia tau, tekad ini sangat rapuh, dan akan mencair seiring bertambahnya temperatur bumi di siang hari.
“Hhaahh..” Tari menghembuskan nafas panjang lagi, lalu beranjak untuk pergi ke sekolah.
Bel tanda pelajaran masuk sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu, tapi kegiatan Tari tidak berubah sejak masuk ke kelasnya setelah kegiatan IMTAQ selesai. Dia termenung sendiri. Jilbab yang tadi pagi dipakainya kini sudah lepas dari kepalanya.
Tari masih terngiang-ngiang perkataan ustad yang mengisi acara IMTAQ tersebut yang entah kenapa temanya sama dengan apa yang sejak tadi pagi menjadi kegalauan hatinya yaitu “Keutamaan Berhijab”.
…kalau kalian, kaum hawa, tidak memakai jilbab karena alasan panas dan gerah, coba bandingkan panasnya dunia dengan panasnya api neraka!!…
Tari selalu merinding setiap memikirkan perkataan ustad itu. Akhirnya, satu-satunya alasan Tari untuk tidak menutup aurat telah dipatahkan. Pikirannya mulai mencari-cari alasan apa lagi yang bisa dipakai untuk penundaan selanjutnya, tetapi tetap saja tidak ketemu.
“Tapi aku kan belum siaappp!!!” ujar Tari gusar. Untungnya saat itu suasana kelas sedang ramai sehingga yang mengetahui kegusaran Tari hanya orang yang ada di sebelahnya yang pastinya bukan teman sebangkunya, karena teman sebangkunya kini sedang tidak masuk sekolah.
“Mmm, apanya yang belum siap?” terdengar suara asing tepat di sebelah Tari. Tari langsung menoleh kaget. Di sebelahnya sekarang duduk seorang gadis berjilbab yang memandanginya heran. Tari memasang wajah heran dan kaget, karena dia benar-benar tidak mengenal orang yang sekarang ada di sebelahnya ini. Gadis yang ada di sebelahnya ini kini tersenyum maklum. “Maaf, kamu pasti nggak kenal aku kan?” Tari merasakan pipinya memanas, pasti wajahnya mengatakan kekagetannya walaupun dia tidak berbicara apa-apa. “Aku anak baru, tadi saat aku memperkenalkan diri pasti kamu lagi melamun seperti tadi.” anak itu kemudian mengulurkan tangannya. “Namaku Ina, Inair A. Wardoyo” katanya ramah. Tari terpaku sesaat, Wardoyo, Wardoyo, kok perasaan pernah denger ya? Kemudian Tari sadar sudah menggantungkan tangan Ina yang terulur dan segera menyambut uluran tangan tersebut.
“Tari, Ihda Mentari.” Ucap Tari hampir tak terdengar. Lalu melirik ke arah Ina yang entah kenapa sekarang terlihat gusar.
“Mmm, maaf ya sebelumnya. Kamu ini agamanya apa?” tanya Ina dengan suara selirih hembusan angin, namun dampaknya terhadap Tari sangat besar. Tari merasa seperti ada panah yang menembus jantungnya dan menyuarakan bunyi JLEB yang sangat keras.
“Maksud kamu apa?” Tari balas bertanya dengan ketus. Ia melihat Ina malah tesenyum dan berkata lembut padanya.
“Kalau melihat dari reaksimu, pasti kamu Islam ya kan?” tanya Ina, tapi Tari tahu, Ina tidak membutuhkan jawabannya karena setelah bertanya, Ina langsung melanjutkan. “Soalnya kalau aku nanya seperti itu sama orang non islam pasti dia jawab biasa aja.” Tari cemberut, Ina ini ngomong apa sih?
“Ooooo..,” Tari memutuskan untuk ber-ooo panjang, lalu melihat ke sekeliling kelas. Dia baru sadar kalau sekarang lagi tidak ada guru. Seingatnya guru yang masuk ke kelasnya hanya wali kelas yang mungkin masuk hanya untuk memperkenalkan orang yang sekarang ada di sebelahnya ini. “Eh, kok nggak ada guru sih? Kamu tahu kenapa?”
Wajah Ina menjadi cerah karena Tari tidak menyuekinya lagi. “Hari ini nggak belajar, mau persiapan UN kelas 3 minggu depan katanya.” Tari mengangguk-angguk lalu diam kembali.
Tiba-tiba Tari sadar, persiapan UN kelas 3? Berarti udah akhir tahun pelajaran dong? Kok bisa Ina…
“Kamu kok….,”
“Eh Tar, ke kantin yuk? Sekalian muter-muter, kan hari ini hari pertama aku di sini.” Ina memotong ucapan Tari. Seketika Tari terdiam, dan menyadari perutnya keroncongan karena tidak sempat makan tadi pagi. Tari akhirnya memutuskan untuk ke kantin diikuti Ina dan menyimpan petanyaannya hingga nanti.
Di kantin, ternyata yang memesan makanan hanya Tari, sedangkan Ina hanya menonton Tari makan.
“Kok nggak makan? Kan kamu yang ngajak.” Tanya Tari sambil terus menyuap bubur ayam yang baru diantarkan ibu kantin.
“Udah kenyang. Aku ngajak kamu soalnya kamu kelihatan kelaparan.” Jawab Ina santai. Tari meringis. “Eh, soal pertanyaan tadi, maaf ya.” Ujar Ina tiba-tiba, sebenrnya dia hanya memancing Tari. Namun, Tari sudah tidak mau mengambil pusing soal itu lagi, jadi dia hanya mengangguk. “Tapi, jujur nih. Aku nggak pernah lho ditanyaiin seperti itu sama orang.” Pancing Ina lagi. Tari langsung melotot ke arahnya. Ina tersenyum.
“Kamu nih ya..,” Tari menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu kan pakai jilbab! Jadi..,”
“Jadi karena aku pakai jilbab jadi apa?” potong Ina sambil tersenyum. “Kalau aku pakai jilbab semua orang tau kalau aku muslim ya kan?” lanjutnya. “Kesimpulannya jilbab itu merupakan identitas setiap muslimah! Keren kan?” tutupnya dengan semangat. Seketika Tari tertegun, entah karena dari semangat Ina yang mirip dengan Riani atau dia yang baru sadar akan arti lain jilbab dari setiap muslim.
“Kamu bangga ya pakai jilbab?” sebuah pertanyaan tiba-tiba terucap dari mulut Tari.
“Iya, dong!! Dan tahu nggak Tar? Itu cuma salah satu dari sekian banyak keutamaan berjilbab.” Ucap Ina makin semangat. Berkebalikan dengan Tari yang kini hanya terdiam memandang bubur ayamnya.
Tari teringat kembali tentanng janjinya kepada Riani. Mungkin Allah SWT membantu dia untuk menepati janjinya melalui Ina ini.
“Ina.” Panggil Tari setelah terdiam cukup lama.
“Apa Tar?” jawab Ina cepat. Tari menghela nafas panjang sebelum melanjutkan.
“Ada yang mau ku ceritain ke kamu. Mungkin aneh ya? Habisnya kita baru aja ketemu. Aku harap nanti kamu bisa bantu memecahkan masalahku.”
Dan mengalirlah cerita tentang Riani dari mulut Tari. Cerita yang Tari tidak menyangka ternyata cukup menguras emosinya, sehingga curhatan Tari diselingi dengan isak tangis. Sampai pada akhirnya, Tari juga menceritakan permintaan terakhir Riani dan betapa sulitnya Tari memenuhi permintaan tersebut.
Setelah hampir 15 menit Tari bercerita, Tari malah mendapatkan komentar yang sangat tidak disangkanya dari Ina.
“Ternyata kamu egois ya!” ucap Ina. Seketika Tari mematung. “Tau nggak sih Tar? Dibanding kamu, yang lebih menderita tuh si Riani. Kamu kira gampang Riani memenuhi janjinya untuk bisa pulang ke sini 2 tahun lagi? Riani tuh kena kanker Tar, hidup sebulan aja udah bersyukur.” Kata Ina terdengar kecewa. Amarah Tari keluar ketika mendengar kalimat terakhir Ina.
“KAMU TAU APA NA?”
“Aku tahu banyak Tari. Seharusnya kamu bisa membandingkan usaha kamu untuk memenuhi janji dengan usaha Riani agar bisa hidup selama dua tahun! Nggak sebanding tau! Maksud Riani tuh baik buat kamu! Kamu kira gampang untuk tetap hidup kalau kena penyakit kanker!” Ina menjelaskan dengan penuh penekanan.
Tari kini tersentak, kalimat penuh penekanan Ina menyadarkan dirinya yang sudah begitu egois. Dia pun hanya terdiam sampai bunyi bel pulang berbunyi.
“Ina, kamu bisa bantu aku untuk memenuhi janjiku?” kata Tari kemudian. Tari bisa melihat senyum yang mengembang di wajah Ina.
“Aku bisa bantu kamu. Aku bisa bebas bantu kamu enam hari ke depan.” ucap Ina dengan nada yang tidak lagi penuh penekanan. Tari mengerutkan keningnya.
“Kok bisa bebas?” tanyanya. Ina terdiam sebentar, lalu tersenyum lagi.
“Soalnya, enam hari kedepan kita free.., gara-gara anak kelas tiga ujian” jelasnya. Tari mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia teringat pertanyaannya yang belum selesai dia tanyakan ke Ina. Tapi dia memutuskan untuk menanyakannya lain kali.
Enam hari yang panjang dilewati Tari dengan penuh pengorbanan. Tapi akhir yang didapatkannya sangat menguntungkan. Dari Ina ia belajar untuk mengenal Islam, khususnya soal menutup aurat. Tari jadi lebih mengetahui keutamaan-keutamaan menutup aurat dari Ina dengan didukung oleh ayat-ayat yang ada di Al Qur’an. Contohnya saja Ina memberi tahunya keutamaan menutup aurat dengan surat Al Ahzab ayat 59 yang mengatakan bahwa dengan berjilbab (menutup aurat) seorang muslimah akan lebih mudah dikenali dan dia tidak akan diganggu oleh orang-orang jahil. Juga pada surat Al A’raaf ayat 26 yang mengatakan bahwa menutup aurat itu merupakan salah satu bentuk ketakwaan. Akhirnya, Tari dengan sepenuh hati memenuhi salah satu kewajiban setiap muslimah itu.
Hari ini adalah hari pertemuan kembali Tari dengan sahabatnya. Sejak pagi Tari sudah siap-siap dan kini dia sudah berjalan ke taman tempat dulu Riani menyatakan permintaan terakhirnya sebelum dia pergi.
Tari menunggu berjam-jam, akan tetapi tidak terlihat wujud yang dikenal Tari satu pun di sekitar taman.
Tiba-tiba hanphonenya berdering. Telepon dari mamanya.
“Assalamualaikum, Ma, ada apa?” Tari terkejut karena yang didengarnya pertama adalah isak tangis.
“Riani meninggal pagi ini Tari.., Riani sudah koma sejak seminggu yang lalu..,” perkataan mamanya seketika meluruhkan tubuh Tari. Ia terduduk di rerumputan taman. Tari kembali teringat kata-kata Ina tentang kanker yang entah kenapa tidak disadarinya sejak awal. Akhirnya Tari menangis.
Tari menjadi ingat Ina. Dia ingin bertemu Ina tapi dia tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Selama dia belajar Islam dari Ina mereka hanya berjanji untuk bertemu di sekolah di jam yang sudah ditentukan sebelumnya, Ina tidak pernah memberi tahu nomer handphonenya.
“Ina, Ina, Ina..,” Tari menyebut nama Ina, entah kenapa ia berharap Ina dapat mendengarnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu “Ina… Inair, Inair… RIANI!!”
“Apa Tari??” Tari tersentak dan melihat ke belakang dilihatnya Ina yang sedang berjalan ke arahnya. Semakin Ina mendekat, wajahnya semakin mirip dengan Riani. Hingga Tari yakin yang berdiri di hadapannya kini memang Riani.
“Riani..,” ucapnya lirih. Riani tersenyum. Dan memeluk Tari.
“Maafkan aku, aku nggak bisa menepati janji. Kamu.., tetap istiqomah yaa..,” ucap Riani.
Tari tertegun, ia baru menyadari sesuatu. Pantas saja Ina bisa pindah sekolah di akhir tahun, karena sebenarnya dia tidak pindah, tapi hanya hadir dan disadari oleh Tari seorang. Tari sekarang juga tahu Wardoyo yang ada di belakang nama Ina adalah nama belakang Riani yang biasanya disingkat “W” dan “A” pada nama Ina adalah “Amalia” pada nama Riani. Ina tidak pernah makan selama bersama Tari, karena memang Ina hanya sesosok roh yang hanya diketahui Tari seorang. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang?
Tari kembali tersentak. Bahkan di akhir hidupnya Riani masih sempat membantunya untuk berada di jalan yang diridhai Allah. Air mata Tari kembali menetes saat Riani hanya terlihat seperti kabut saja. Rasa penuh terimakasih memenuhi dadanya.
“Terima kasih, Riani…”
THE END
Cerpen Karangan: Nadia Fikrunnisa
Facebook: Nadia FikrunAnis
Membersihkan Dosa dengan Deterjen
Aku berlari menuju rumah dengan iringan gerimis yang sedari tadi menepuk-nepuk lembut tubuhku. Tapi sayang aku tak hirau. Suasana haru mulai kurasakan dengan wangi yang aku benci. Wangi dupa yang bagiku mengerikan. Dupa sering digunakan orang-orang di kampungku bila ada acara kematian, haulan atau selamatan dan hal-hal yang berbau mistik lainnya.
Ternyata ini bukan mimpi. Mayat di depanku adalah kakakku. Kepulanganku dari Perantauan ternyata disambut dengan kejutan yang mengerikan. Tiba-tiba kakiku rasanya berpijak di hamparan es, tubuhku dingin tak berdaya. Lututku gemetar seirama dengan isak tangisku. Mengapa semua ini bisa terjadi. Kalimat itu selalu berdendang riuh di pikiranku. Aku hilang kendali. “Ahhh kakak kenapa kau bodoh sekali! Mengapa kau seperti ini?” Teriakku kencang namun masih terengah.
Orang-orang yang melayat langsung memandangku bingung, ibu langsung berdiri mendekapku yang sedari tadi membacakan surah yasin di samping kakakku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memandang ke arah bapakku. “Apa saja yang kau lakukan pak, apa saja? Mengapa kau hanya mengurus mesjid. Apakah kau hanya ingin mendapat pandangan baik dari orang-orang kampung, serta merta melupakan anakmu! Seandainya kau sering memperhatikan dan mengajaknya bicara kakak tidak akan mati! Kau boleh beribadah, mengikuti kegiatan-kegiatan agama tapi kau juga harus ingat kau punya anak yang butuh perhatian darimu. Jangan hanya karena ia sudah tidak waras kau sering mengacuhannya. Cukup aku yang tak kau pedulikan.” Lagi-lagi aku tak bisa mengendalikan diriku. Emosiku meluap-luap dengan tangisan yang tak bisa kutahan.
Ibu menangis dan mencoba menenangkanku. Bapak hanya terdiam menahan malu, karena sudah banyak sekali orang berdatangan untuk berta’ziah. Atau sekedar melihat-lihat kakakku yang mati mengenaskan. Aku lihat di wajah bapak juga terdapat gurat-gurat penyesalan yang teramat dalam. Ibu mengajakku duduk. Tepat di samping mayat kakak. Ia kembali membaca surah yasin. Aku tak bisa membacakan surah yasin untuk kakakku. Karena sekarang aku sudah tidak begitu lancar membaca tulisan arab terang saja memori otakku sudah tidak bisa mengingat apa yang diajarkan bapak dulu. Daya serap otakku berkurang karena efek dari obat-obatan yang dulu pernah aku konsumsi.
Aku menarik nafas lalu membuangnya. Bermaksud untuk menenangkan emosiku. Aku melihat tetesan kesedihan pada butir-butir air mata ibu. Aku melihat kepedihannya ia balut dengan sisa-sisa kesabarannya. Aku teringat ketika kakakku tiba-tiba menghilang dari rumah, ia langsung mencarinya tak peduli malam sudah larut, sedangkan bapak dengan nyenyaknya tidur di rumah. Aku memandang mayat kakakku dalam. Kaku hanya diam. Wajah yang dulunya cerah kini tampak pucat pasi. Ia terlihat tak begitu senang menyambut kedatanganku. Tersenyum pun tidak. Haha, mungkin aku sudah gila. Jelas saja orang yang sudah mati takkan bisa tersenyum apalagi bicara. “Kakak”, rintihku. “Aku sekarang sudah punya banyak uang, aku tidak akan meminta uang pada bapak dan ibu lagi. Aku juga banyak sekali membelikan pakaian baru untukmu, agar kau tidak memakai baju dan sarung yang itu-itu saja. Apapun yang kau minta akan aku kasih, apapun. Ku mohon bicaralah. Aku berjanji akan selalu menemanimu, akan mengajakmu bicara agar kau tak merasa sendirian dan melamun karena tidak punya teman. Kaulah yang selalu membelaku ketika ayah memarahiku meski terkadang aku acuh padamu.” Tetap saja kakakku diam membisu.
Sepertinya aku benar-benar sudah gila. Sampai detik ini rasanya aku masih tidak percaya kakak sudah meninggal. Airmataku pun mengalir tanpa henti. Ku dengar isak tangis ibu pun meninggi. Aku menutup kembali wajah kakakku yang dari tadi kubuka. Aku terus memandang mayat yang tertutup sehelai kain batik yang penuh mistik. Kain bercorak burung dengan garis-garis melengkung berwarna coklat yang tak kumengerti maknanya. Inilah Kakakku yang penurut dan sangat alim. Inilah kakakku yang ingin selalu memperdalam ilmu ketauhidan. Inilah kakakku yang dulu selalu dibanggakan dan sangat disayangi bapak. Ia yang selalu menjadi bandingan pada diriku. Bandingan antara anak laki-laki penurut dan anak laki-laki yang suka membangkang. Takdir memang kejam. Tapi mungkin inilah yang terbaik. Tuhan tidak ingin menyakiti hambanya terlalu lama. Kakakku meninggal dalam keadaan tidak waras. Ia kehilangan jiwanya sebagai manusia normal. Entah ilmu apa yang sedang dipelajarinya. Ilmu yang ia maksudkan untuk lebih mendekatkannya pada sang khalik ternyata membawa petaka bagi dirinya. Ia memperdalam ilmu yang tak pernah aku mengerti. Ia mempelajarinya sendiri tanpa bimbingan guru. Ia seperti seorang pertapa. Siang dan malam hanya membaca kitab yang entah dari mana ia dapatkan. Tidak ada yang tahu apa alasannya sehingga ia begitu ingin mempelajari ilmu tersebut. Orang- orang sering menyebutnya ilmu tasawuf. Bukankah ilmu tasawuf adalah ilmu yang ingin mengenal siapa Tuhannya lebih dalam. Mungkin ia begitu cinta dengan Tuhan. Mungkin ia ingin mengenal lebih dalam. Tapi, malang yang didapat. Ia menjadi tidak waras. Kata orang pintar di kampungku mungkin saja daya tangkap otaknya tidak mampu menerima ilmu yang terlalu tinggi. Ia juga mempelajarinya tanpa guru. Dan ia juga terbilang masih muda. Tapi, jika dikaitkan dengan ilmu medis, kakakku mengalami gangguan jiwa. Entahlah aku juga tidak begitu mengerti.
Sebelum aku pergi merantau ke luar kalimantan. Aku melihat kelakuan-kelakuan aneh dari kakakku. Ia sering bercerita bisa melihat orang yang sudah mati. Walau aku tidak mempercayainya tapi bulu kudukku langsung berdiri ketika mendengarnya. Ia juga sering berbicara sendiri dan tertawa sendiri. Mungkin dia sedang berinteraksi dengan orang-orang gaib. Tapi, sekali lagi entahlah. Aku tidak mengerti. Ada juga yang mengatakan jika kakakku melakukan hal-hal aneh itu berarti ia dimasuki jin. Sulit dipercaya memang. Ia juga sering menghilang dan berada di tempat- tempat sunyi seperti di halaman belakang dan kadang pergi ke hutan. Setelah dicari dan ditemukan ia sedang duduk di bawah pohon sendirian. Jika aku dalam keadaan baik atau moodku sedang bagus. Aku sering mengajaknya bicara. Ketika ku ajak bicara. Responnya sangat lambat ia lebih banyak diam. Tetapi jika terus kupancing untuk bicara ia akan bicara seperti orang normal.
Kondisi kakak memuncak ketika ia sering menyakiti dirinya sendiri dengan menyayat tangan menggunakan silet atau pisau. Sempat kakakku dibawa ke rumah sakit jiwa. Dengan harapan ia bisa sembuh. Tapi hasilnya nihil. Kakak tak kunjung sembuh. Malah semakin parah. Orangtuaku kehabisan akal untuk menyembuhkan kakakku. Sehingga dibiarkan begitu saja. Bapak mulai tidak peduli dengan kakakku. Mungkin ia sudah merasa lelah mengurus kakakku. Ia sering memarahi kakakku ketika kakakku melakukan hal-hal aneh. Bagaimana orang seperti itu dimarahi. Orang seperti itu seharusnya lebih banyak didekati. Aku marah pada bapak yang tega mengurungnya di rumah dan membiarkan kondisi kakakku bertambah parah. Seharusnya ia lebih sering mengajaknya bicara agar pikirannya tidak kosong. Semua keluarga bingung dengan penyakit yang di alami kakakku. Jika dikatakan gila kenapa ia masih mengerjakan kewajibannya sebagai umat muslim seperti shalat dan ibadah lainnya. Jika dikatakan masih waras kenapa ia sering menyakiti dirinya sendiri. Jika bicara mistik atau gaib hanya Allahlah yang maha tahu atas apa yang terjadi pada hambanya. Inilah rahasiaNya.
Apapun yang terjadi. Aku juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bukankah ini di luar kuasa manusia. Inilah goresan takdir dari-Nya. Mayat di hadapanku sekarang adalah kakakku. Mayat yang hanya malam ini saja bisa bermalam di rumah. Karena besok ia akan menempati rumah abadinya. Aku pasti sangat merindukannya. Kini ia sudah tiada. Mati dengan mengenaskan. Dan penyebab kematiannya adalah menelan deterjen. Entah makhluk apa yang sedang membisikinya atau mungkin telah merasukinya. Yang sering kulihat dulu ia sering melakukan itu tapi hanya berkumur-kumur dengan busa deterjen. Ia mengaduk-ngaduk deterjen pada ember dan berkumur-kumur dengan busa tersebut.
Ketika aku tanya “Kenapa kau berkumur-kumur dengan busa deterjen”. Ia menjawab “Aku ingin membersihkan mulutku atas dosa dari perkataan-perkataanku”. Aku sontak terkejut hingga keluar perkataanku yang sangat kusesali. “Heh, Kenapa tidak sekalian deterjen kau masukkan ke mulut, pasti langsung bersih semua dosa-dosamu.” Aku tertawa sinis. Dan benar. Kata-kataku benar-benar ia lakukan. Busa memenuhi mulutnya. Sempat diduga karena keracunan makanan. Orang yang alim seperti kakak saja masih ingat untuk membersihkan diri dari dosa. Lalu bagaimana dengan diriku yang berlumur dosa. Apakah aku harus menyeburkan diri pada lautan deterjen?
Cerpen Karangan: Siti Mahillah
Facebook: Siti Mahillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar harus berbahasa yg Sopan jaga etikannya